Hari Buku Sebagai Sarana Untuk Meningkatkan
Minat Literasi
Hari Buku Nasional atau Harbuknas diperingati setiap tanggal 17 Mei,
hal ini berbeda dengan Hari Buku Sedunia yang diperingati pada tanggal 23 April.
Hari buku ini ditetapkan sejak tanggal 17 Mei 2002. Hari buku ini bertujuan
untuk mempromosikan peran membaca, penerbitan, dan hak cipta.
Sejarah penetapan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku di Indonesia
sendiri karna ide dari Abdul Malik Fajar, Menteri Pendidikan Indonesia pada
tahun 2002. Penetapan tangga 17 Mei juga bertepatan dengan peringatan
berdirinya gedung Perpustakaan Nasional, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan
filosofi bahwa buku sangat erat kaitannya dengan perpustakaan.
Ditetapkannya Hari Buku itu dilatar belakangi kondisi bangsa
Indonesia yang ketika itu masih lebih banyak mempertahankan tradisi lisan
dibanding menjawab tuntutan informasi dengan banyak membaca. Secara umum
masyarakat masih memiliki tradisi menyebarkan informasi dari mulut ke mulut
dari pada membaca.
Selain itu, juga karena melihat kondisi memprihatinkan Indonesia
yang rata-rata hanya ada 18 ribu judul buku yang dicetak setiap tahunnya, jumlah
tersebut jauh dibawah Jepang dengan 40 ribu judul pertahunnya dan China dengan
140 ribu judul buku pertahunnya.
Tujuan utama dari didakannya Hari Buku Nasional adalah agar dapat
meningkatkan angka melek huruf dan angka literasi masyarakat Indonesia. Tingkat
melek huruf Indonesia pada penduduk berusia diatas 15 tahun, pada 2002 hanya
87,9%, angka tersebut kalah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara seperti
Malaysia (88,7%), Vietnam (90,3%), dan Thailand (92,6%) di tahun yang sama.
Pada Maret 2016, Central Connection State University merilis survei
minat baca pada setiap negara di dunia. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat
ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Dari data tersebut menunjukan bahwa minat
literasi Indonesia sangat rendah.
UNESCO juga menyatakan bahwa minat baca Indonesia sangat
memprihatinkan, presentasenya hanya 0,001%, yang artinya hanya ada 1 dari 1000
orang yang rutin membaca. Word Bank meriis laporan bahwa dari penduduk
Indonesia yang rutin membaca, lebih dari setengahnya, yaitu 55%, mengalami buta
huruf fungsional, yang artinya masih banyak yang “kurang” memahami informasi
yang dibaca.
Di zaman serba teknologi saat ini masih ada sekitar 1,93% penduduk
Indonesia yang buta huruf, berdasarkan laporan BPS 2020 .Pada pandemi Covid-19,
angka buta huruf mengalami peningkatan dari 1,78% (pada 2019) menjadi 1,93%
(pada 2020). Artinya masih ada sekitar 5.237.053 penduduk Indonesia yang
mengalami buta huruf.
Para Penduduk Indonesia yang mengalami buta huruf itu sebagian besar
tersebar di enam provinsi di Indonesia, mencangkup Papua (21,9%), Nusa Tenggara
Barat (7,46%), Nusa Tenggara Timur (4,24%), Sulawesi Selatan (4,22%), Sulawesi
Barat (3,98%), dan Kalimantan Barat (3,82%).
Dengan adanya Hari Buku dapat diharapkan dapat meningkatkan minat
literasi dan mengurangi presentasi masyarakat buta huruf di Indonesia.
Gerimis
Langit cerah, sedikit mendung.
Matahari bersinar lembut seperti biasa. “Udan Kethek” (Hujan Monyet),
begitulah beberapa daerah menyebutnya. Hujan, namun matahari tidak tertutup
awan, tetap bersinar. Kontras dengan suasana pagi yang tenang dan damai,
suasana di sebuah kelas terasa ramai.
Jamkos. Alasan yang membuat kelas itu lebih berisik dibanding biasanya. Setelah
pelajaran matematika yang membosankan, jamkos ini memang waktu yang tepat untuk
membuang penat di pelajaran sebelumnya.
Beberapa anak terlihat berkumpul di meja, berbisik-bisik. Sesekali
berseru kencang, lalu berbisik-bisik lagi. Beberapa ada yang bermain di lantai,
duduk melingkar. Membuat beberapa meja dan kursi tergeser. Ada juga yang
berkeliaran di teras kelas. Masuk saat ada guru yang lewat, lantas keluar lagi
saat guru itu sudah pergi. Lalu ada yang pergi ke kantin, jajan. Membawa
makanan ke dalam kelas. Lalu ada yang menyanyi tidak jelas di depan kelas,
konser dadakan dengan suara pas pasan.
Selain anak anak yang berisik ada juga yang terlihat tenang. Mencatat
materi matematika yang tertinggal, atau tidur. Tidur di meja, tidur di lantai,
dimanapun tempat yang enak untuk tidur.
Begitu juga dengan dua anak perempuan yang duduk di pojok kelas. Mereka
terlihat tenang, seolah tidak terpengaruh oleh keributan di kelas mereka.
Mereka sedang membaca. Terlihat beberapa novel bertumpuk di atas meja.
“lagi baca novel apa Shei?” Suara Veya yang datang memecah
fokus Sheira.
Sheira menoleh, hendak menjawab. “Baca—“
“Ohh yang judulnya benda benda langit itu ya?” Veya
lebih dulu memotong ucapan Sheira, mengamati novel yang sedang dibaca Sheira.
“Tuh kan kebiasaan motong omongannya orang.” Bukannya
menjawab, Sheira malah mengomeli Veya.
“Heheh.. maaf Shei.” Veya menangkupkan tangan di depan
dada, meminta maaf. “Eh tapi bukannya kamu sudah baca sampai yang cover abu abu
tua itu? Yang kamu baca ini kan bulan”
“Baca ulang. Soalnya ceritanya bagus banget, dibaca
ulang pun enggak bosen.” Sheira menjawab sambil kembali membaca novel.
Veya memperhatikan beberapa novel di atas meja,
mengambilnya satu, membuka sembarang halaman. “Iya sih, dulu aku pernah baca
sampai bintang memang bagus. Tapi aku baca lewat pdf, dikasih teman.”
“Ilegal.”
Veya dan Sheira menoleh. Itu suara Anna. Dari tadi
Anna hanya diam, fokus membaca novelnya. Saat ini pun dia tidak mengalihkan
pandangannya, tetap fokus membaca. Sepertinya Anna sekilas mendengar percakapan
Veya dan Sheira.
“Eh, emangnya iya Ann?” Veya menatap Anna.
Anna diam, masih fokus membaca. Tahu orang yang dia
tanyai tidak akan menjawab, Veya menoleh pada Sheira, meminta jawaban.
“Iya, ilegal. Soalnya itu kayak pelanggaran hak cipta
begitu kan. Yang berhak memperbanyak itu kan pemilik hak ciptanya. Jadi kalau
mau mengumumkan atau memperbanyak harus dapat izin penciptanya. Memang ada sih
penulis yang mengizinkan e-book-nya diunduh secara gratis, tapi kan cuma
beberapa. Kalau aku sih lebih suka baca novelnya langsung saja daripada pdf. Lihat
layar hp sama laptop lama lama kan enggak enak di mata.” Sheira menjawab
pertanyaan Veya.
“Kalo buku bajakan itu juga gaboleh ya?”
“Enggak boleh lah. Apa sih untungnya beli yang bajakan.
Walaupun murah tapi kan kualitasnya buruk banget, terus juga merugikan banyak
pihak. Merugikan penulis, editor, sama penerbit dan toko bukunya. Habis itu
juga bisa kena denda loh. Pokoknya jangan deh beli buku bajakan.”
“Oke!” Veya menyatukan ibu jari dan telunjuknya,
membuat tanda. Veya melihat lihat lagi buku yang ada di atas meja. “Eh, yang
ini lanjutannya bintang kan, aku belum baca. Aku mau pinjam ya?”
“Oh itu novelnya Anna.” Sheira yang menjawab.
“Pinjam ya Ann?”
“Iya.” Anna menjawab singkat, masih tetap membaca.
“Eh Vey,” Sheira menyikut Veya, berbisik. “Kalau
pinjam novelnya Anna halamannya jangan ditekuk, jangan sobek, pembatasnya
jangan hilang, jangan basah, jangan kotor, jangan dibuka lebar lebar apalagi
kalau masih baru. Pokoknya banyak jangan-nya. Hati- hati ya pinjamnya. Kalau
rusak sedikit saja yang punya bisa marah”
Veya tertawa kecil, mengiyakan perkataan Sheira.
“Gausah bisik-bisik. Kedengaran sampai sini tahu.” Anna
berseru ketus.
Sheira tertawa. “Maaf ya Ann. Tapi benar kan, kamu itu
kalau sama novel dirawat banget kayak gaboleh tergores sedikitpun begitu.”
“Kan biar awet.” Anna berseru lagi.
Sheira menoleh pada Veya, “Tahu gak vey, dirumahnya
banyak novel. Apalagi yang penulisnya novel ini, komplit.” Sheira menunjuk
novel yang dibacanya. “Dijamin betah kalau main kerumahnya.”
“Wihh, enak banget ya bisa ngoleksi banyak novel
begitu. Kalau aku mana bisa, sudah tergoda buat beli yang lain.” Wajah Veya
terlihat riang. “Aku waktu libur panjang nanti mau baca novel seharian dirumah
ah.”
“Jangan cuma baca novel, baca buku yang lain juga.”
Anna berkata pelan.
“Mirror ya Anna sayang. Padahal kamu juga suka
banget baca novel. Tuh, dari tadi kamu enggak nengok ke kita sama sekali loh,
Cuma nyahut-nyahut, lihatnya ke novel terus.” Sheira mulai mengomel.
“Kamu jadi jarang bersosialisasi sama sekitarmu kan,
enggak memperhatikan. Baca buku, komik, novel, itu boleh yang penting enggak
berlebihan. kamu itu juga sedikit-sedikit baca novel. Jamkos baca novel, jam
istirahat baca novel, aku curiga jangan jangan waktu pelajaran kamu diam-diam
baca novel ya Ann?” Sheira menyelidik, menatap Anna. Yang ditatap sedang fokus
membaca novel.
“Tuh kan! Enggak nggagas. Tadi dengerin aku
ngomong enggak sih?” Sheira menyenggol lengan Anna.
Anna menoleh, mengangkat satu alisnya, raut mukanya
seolah bertanya ‘kenapa?’. Sheira menghela nafas pelan, sudah biasa menghadapi
sifat Anna.
“Eh, besok libur kan, mau ke Gramed enggak?” Veya mengalihkan
topik.
Anna mengangguk.
“Ayo! Aku sudah lama enggak ke gramed deh. Aku mau
beli buku terbarunya serial bumi.” Sheira terlihat antusias, melupakan
kekesalannya pada Anna.
“Aku udah punya dirumah.” Anna menoleh pada Sheira.
“Demi apaa!? Yang cover putih sama abu-abu itu?”
“Iya.” Anna menganggguk lagi.
“Kok enggak bilang sih. Yaudah besok habis ke gramed
mampir rumahmu ya Ann. Gausah beli deh, hemat uang jajan.”
“Iya.”
***
Esoknya. Veya dan Sheira sudah di gramedia sejak satu
setengah jam yang lalu. Tapi batang hidung Anna belum juga terlihat.
“Aduh si Anna ini kebiasaan deh kalo main datangnya
paling akhir. Nanti kalau pada mau pulang baru datang.” Sheira menggerutu
kesal. Mereka sedang diantara rak rak buku, melihat-lihat novel.
“Mungkin lagi dijalan Shei.”
“Rumah dia deket loh Vey dari sini.”
“Eh, ya gatau Shei. Coba di chat.” Usul Veya.
“Oh iya ya.” Sheira hendak mengambil ponsel di dalam
tas.
Tapi suara notifikasi lebih dulu menyahut. Ternyata
itu chat dari Anna. Sheira membacanya sekilas, mendengus pelan, lantas
mengetikkan jawaban.
“Siapa Shei?”
“Anna. Disuruh langsung ke rumahnya aja. Katanya disuruh
jaga adik dirumah, orang tuanya pergi.” Sheira menjelaskan.
“Yaudah yuk. Aku mau bayar ini dulu, terus kita ke
rumah Anna.” Veya beranjak pergi ke kasir sambil membawa novel yang akan Ia
beli.
“Oke.”
Setelah Veya membayar novelnya, mereka keluar dari
gramedia. Setelah memesan taksi online. Sheira sempat mengomel soal kenapa Anna
tidak mengabari dari awal, jadi mereka tidak usah menunggu lama di gramed. Veya
hanya tertawa menanggapi perkataan Sheira.
Tidak sampai lima belas menit, mereka sampai di rumah
Anna. Sheira mengomel pada Anna, yang hanya dibalas anggukan saja. Veya sempat
bertanya dimana adik yang harus dijaga Anna. Anna menjawab sekilas, tidur.
Mereka menuju ruang baca. Sheira langsung meminjam
novel milik Anna, sedangkan Anna menyiapkan minuman dan beberapa camilan
dibantu Veya. Lalu mereka bertiga duduk tenang di ruang baca rumah Anna.
Hening. Entah sudah berapa menit berlalu. Sesekali
terdengar suara lembaran buku di balik, juga suara camilan yang dimkan.
Sheira menutup novelnya sejenak saat mendengar suara
seseorang.
“Loh, nangis Vey?”
“Ali baper banget aaaaa.” Veya mengusap air mata di
pipinya.
Sheira tetawa sejenak, “Itu mesti waktu study wisata
ya. Tapi akhirnya nanti enggak jadi—“
“Gausah spoiler.” Anna menyahut.
Sheira tertawa lagi, mendekati Veya, “Terus Ily itu
sebenarnya enggak..” Sheira berbisik. “Tapi buku tentang itu masih belum
terbit.”
Veya yang mendengar perkataan Sheira berseru, “Weh?! Beneran?”
wajahnya terlihat antusias, melupakan fakta beberapa saat yang lalu Ia masih
menangis.
“Tuh, yang di spoilerin saja enggak keberatan.” Sheira
melirik Anna.
“iya, iya.” Anna balik melirik Sheira sekilas.
Veya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang
baca. Setelah diperhatikan baik-baik ruang baca ini memang sangat rapi, ditata
sesuai tinggi, judul, dan penulisnya. Selain novel-novel remaja, juga ada buku
seri anak—mungkin bacaan untuk adik Anna, komik, beberapa ensiklopedia, majalah,
dan buku lainnya.
“Rapi banget ya bukunya, banyak banget lagi.
Sekeluarga suka baca semua ya Ann?” Veya menoleh pada Anna. Anna mengangguk.
“Gimana sih caranya biar buku itu tetap bagus? Kalau
aku punya buku pasti akhirnya ada yang sobek lah, atau lecek lah.
Apalagi buku pelajaran.”
“Disampul lah.” Sheira menyahut
“Eh, tapi itu kadang enggak pas sama bukunya.”
“Dipotong lah, terus dilipat.”
“Ribet banget.”
“Memang ribet sih, tapi kan bikin bukunya rapi sama
gak gampang sobek. Kalau aku sih lebih suka sampul yang gulungan.”
“Ohh, yang nempel sendiri itu kan.”
Sheira mengiyakan. “Terus selain itu jangan baca
sambil makan-minum. Apalagi kalo tangan basah habis apa gitu, atau ada bekas
remah makanan, nanti bisa bikin buku jadi kotor. Terus jangan simpan buku di
tempat yang lembab. Oh satu lagi, jangan lupa rutin bersihkan buku dari debu.”
Veya ber-oh panjang.
“Bisa juga kayak Anna tuh. Kalo buku dipinjam ke orang
banyak gabolehnya.” Sheira tertawa.
Veya juga tertawa pelan, mengangguk-angguk. Itu saran
yang boleh dicoba.
Mereka mengobrol lagi, Anna hanya memperhatikan.
Sesekali bergabung dalam obrolan kedua temannya, lalu lanjut kembali membaca
novel.
“Tahu enggak, aku pernah baca. Di luar negeri ada yang
santai pada ninggalin buku di pinggir jalan begitu. Jadi mereka naruh buku-buku
bertumpuk disitu, enggak takut ada yang nyuri. Karena mereka percaya pencuri
gak akan membaca buku, dan orang yang membaca buku enggak akan mencuri.” Sheira
berkata lagi.
“Wihh, bisa ya kayak gitu.” Veya menanggapi.
Anna beranjak ke dapur, hendak membawa camilan dan
minuman baru, yang tadi sudah habis. Ia juga hendak menengok adiknya apakah
masih tidur pulas. Saat di dapur, samar-samar terdengar suara Sheira atau
seruan Veya. Hening sejenak. Tak lama kemudian Sheira dan Veya menyusul Anna di
dapur, membantu menyiapkan minuman dan membawa camilan.
“Aduh, makasih ya Ann, udah disiapin camilan lagi yang
baru. Kan jadi enak.” Sheira menyeringai kecil. Anna mengangguk.
“Besok-besok boleh main lagi kan Ann?” Veya yang
mendengar perkataan Sheira juga tertawa, bertanya pada Anna. Anna mengangguk
lagi, tidak masalah.
“Kapan-kapan kalo main kesini nonton film saja,
maraton drakor yang bikin baper.” Sheira mengusulkan. Mereka sudah kembali ke
ruang baca.
“Eh, anime saja. Aku pengin nonton ulang yang voli
voli itu.” Veya mengeluarkan pendapatnya. “Kalau kamu suka yang mana Ann?” Veya
menatap Anna.
“Dua-duanya. Tapi lebih suka film barat, action.” Anna
menjawab. Sheira dan Veya terdiam.
“Dahlah, selera film kita emang gabisa bersatu.”
Sheira menepuk jidatnya.
Veya tertawa, “Yaudah, nanti nontonnya gantian aja
semua. Ditonton satu-satu.”
Anna mengangguk setuju.
Sheira juga mengiyakan. “Heh btw kita out of topic
loh. Ini kan cerita tentang buku-buku gitu.”
Sheira dan Anna lanjut membaca, belum bosan. Sedangkan
Veya memilih untuk melihat-lihat koleksi novel Anna.
“Pulang, pergi, sama negeri-negeri ini bagus enggak
Shei?” Veya bertanya.
“Menarik sih ceritanya, tapi eku enggak cocok. Soalnya
bahasanya bikin mikir dulu, apalagi yang negeri-negeri itu, berat. Terus ada
baku hantamnya, aku gasuka. Menurutku biasa saja.” Sheira menjawab.
“Bagus.” Anna menyahut.
“Eh, masa? Katanya Sheira biasa saja.” Veya
memiringkan kepalanya, meminta penjelasan.
“Kan kata Sheira. Pokoknya bagus, dibaca aja.
Bahasanya biasa saja di aku, tetap masuk ke otak. Terus ada baku hantam itu
malah bikin seru. Sheira kebanyakan nonton drakor cinta-cintaan sih, jadi
gasuka adegan baku hantam. Nonton drakor yang genre lain juga dong.” Anna
menjelaskan panjang lebar, melirik Sheira sekilas.
“Gausah ngejek ya Ann, pendapat sama selera orang kan
beda beda.” Sheira menggerutu.
Veya tertawa.
***
Sore hari. Matahari hampir terbenam. Cahayanya yang
lembut membasuh halaman rumah Anna.
Sheira dan Veya sudah pulang ke rumah masing-masing.
Setelah berkata ingin meminjam beberapa novel untuk dibawa pulang pada Anna,
Sheira memesan ojek online. Beberapa menit kemudian kakak Veya datang untuk
menjemput Veya. Veya juga meminjam novel setelah mendapat rekomendasi dari Anna.
Tak lama setelah Sheira dan Veya kembali, orang tua Anna pulang ke rumah.
Hari yang terasa panjang itu berakhir. Mereka telah bermain
bersama, membaca buku, tertawa, dan mengobrol bersama. Hari itu sangat
menyenangkan untuk mereka bertiga.
- THANK YOU -
0 comments:
Posting Komentar