Raden Ajeng Kartini
Novia Rahmah & Faqita Amalia
Siapa sih yang tidak kenal dengan Pahlawan
Emansipasi Wanita ? Yap, dia adalah RA Kartini. RA Kartini lahir
tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Kartini lahir di tengah-tengah
keluarga bangsawan Jawa. Hal tersebut menjadi alasan mengapa beliau mendapat
gelar RA yang merupakan singkatan dari Raden Ajeng. Ayah dari RA Kartini
merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro IV. Meskipun ibu dari RA Kartini
merupakan istri pertama, namun ibu dari RA Kartini bukan istri yang utama. Ibu
dari RA Kartini bernama MA Ngasirah. Beliau adalah seorang Kiyai di Telukawur,
Surabaya. MA Ngasirah sendiri bukan merupakan putri keturunan bangsawan. RA
Kartini merupakan merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, baik kandung maupun
tiri. RA Kartini sendiri merupakan putri tertua di antara saudara sekandungnya.
RA Kartini bersekolah di ELS
(Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Di masa sekolah inilah beliau
belajar Bahasa Belanda. Singkatnya masa sekolah tersebut disebabkan pada umur
15 tahun RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit. Dirinya mulai
belajar menulis surat pada teman-teman dari Belanda, salah satunya adalah Rosa
Abendanon, yang sangat mendukung RA Kartini. Dimulai belajar surat-menyurat
inilah RA Kartini tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Lalu beliau mulai
memiliki keinginan untuk memajukan perempuan Indonesia yang status sosialnya
masih rendah kala itu. RA Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita
dengan membandingkan para wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Baginya seorang
wanita harus mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan
hukum.
12 November 1903 tepatnya ketika RA
Kartini berusia 24 tahun, beliau diminta menikah dengan Bupati Rembang saat
itu, yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suami RA Kartini
tersebut telah memiliki tiga orang istri. Suami dari RA Kartini sangat memberi
pengertian tentang keinginan RA Kartini. Bahkan beliau membebaskan dan
mendukung RA Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang
perkantoran Rembang, yang saat ini telah menjadi gedung pramuka. Dari
pernikahannya, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama RM Soesalit
Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Sangat disayangkan,
empat hari setelah RA Kartini melahirkan, tepatnya pada usia 25 tahun, RA
Kartini meninggal dunia dan beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Tahukah kamu beberapa
fakta menarik tentang Raden Ajeng Kartini? Simak beberapa info di bawah ini!
1. Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” Menuai Kontroversi
Buku tersebut merupakan kumpulan
surat R.A. Kartini, khususnya ada 53 surat yang ditujukan kepada sahabatnya,
orang Belanda, yakni Rosa Abendanon. Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan
oleh J.H. Abdendanon. Total ada 150 surat yang berhasil dikumpulkan Abdendanon.
Dalam buku tersebut, banyak pemikiran Kartini yang mengkritik kondisi sosial
saat dirinya hidup. Khususnya terhadap posisi perempuan dalam struktur sosial
masyarakat kala itu. Namun, isi buku tersebut sempat diragukan kebenarannya
oleh para sejarawan, sebab tidak ada bukti bahwa seluruh surat yang ada di
dalam buku tersebut adalah tulisan tangan R.A. Kartini.
2. Kartini Mahir Berbahasa Belanda
Sebagai seorang anak bangsawan Jawa,
Kartini mendapat pendidikan yang cukup. Dari pendidikan itu, Kartini mendapat
kesempatan untuk mempelajari bahasa Belanda. Kepiawaiannya berbahasa Belanda
itulah yang membuat dirinya memiliki akses untuk berkomunikasi dengan berbagai
elemen pemerintahan Belanda masa itu.
Kartini mampu menuliskan permohonan
beasiswa pendidikan kepada Pemerintah Belanda saat dirinya berusia 20 tahun.
Tak hanya itu, Kartini juga sempat menuliskan surat protes kepada pemerintahan
Hindia Belanda. Dalam suratnya, Kartini meminta Pemerintah Hindia Belanda untuk
memasukkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan kaum
pribumi. Kepiawaiannya merangkai kata dalam bahasa Belanda itulah salah satu
hal yang dikagumi banyak sahabatnya dari kalangan bangsa Belanda.
3. Jago Masak & Sempat Menulis Resep Masakannya dalam Aksara
Jawa
Dari sekian banyak hasil kreasi tata
boganya, ada dua masakan andalannya yang digemari oleh banyak orang. Masakan
itu ialah Sup Pangsit Jepara dan Ayam Basengek.
Adapun, Kartini menggunakan
kemahiran memasaknya sebagai sarana diplomasi kebudayaan kepada pemerintahan
Belanda dan Hindia Belanda kala itu. Melalui masakannya, Kartini berhasil
mengenalkan budaya Jawa kepada bangsa Belanda sehingga mereka menghormati
kebudayaan Jawa. Resep-resep yang ditulis dalam aksara jawa itu kemudian
ditulis kembali oleh Suryatini N.Ganie, cicit Kartini, dalam buku berjudul
“Kisah & Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner R.A. Kartini, R.A.
Kardinah, dan R.A. Roekmini.”
4. Menjadi Juru Dakwah Agama Islam
Tak hanya memperjuangkan hak-hak
perempuan pada masanya, Kartini juga dikenal sebagai juru dakwah agama Islam.
Ia belajar menekuni ajaran agama Islam dari Kyai Sholeh bin Umar, ulama dari
Darat, Semarang. Bahkan, ia pun ikut berdakwah dan menunjukkan wajah Islam yang
ramah kepada bangsa Belanda. Kartini, melalui surat-suratnya kepada koleganya
di Belanda, selalu menjelaskan ajaran dan menunjukkan sisi keindahan Islam.
Pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh dapat dikatakan sebagai bagian perjalanan
spiritual penting dalam hidupnya.
5. Ada Nama Jalan Kartini di Belanda
Sosok Kartini tidak hanya dicintai
dan dihormati di Indonesia, melainkan juga di Belanda. Hal itu dibuktikan
dengan adanya nama jalan R.A. Kartini di Belanda, yakni di kota Utrecht, Venlo,
Amsterdam, dan Haarlem.
Yang paling menarik ialah di
Haarlem. Nama jalan Kartini berdampingan dengan nama jalan dari tokoh-tokoh
perjuangan Indonesia. Jalan R.A. Kartini berdekatan dengan Jalan Mohammed
Hatta, Jalan Sutan Sjahrir, dan langsung tembus ke Jalan Chris Soumokil,
Presiden Kedua Republik Maluku Selatan (RMS).
Nah, dengan
begitu kita sebagai generasi penerus bangsa terutama perempuan haruslah
menghargai perjuangan dari R A Kartini, berkat beliau derajat perempuan bisa
dijunjung tinggi.
Salah satu bentuk menghargai perjuangan RA
Kartini adalah dengan rajin belajar, tidak bermalas-malasan, menjaga pergaulan
sehingga kita bisa menjadi orang yang sukses. Dan juga agar kedudukan perempuan
tidak dipandang rendah lagi oleh masyarakat melainkan sebagai "Perempuan
Hebat dan Bermartabat".
Kartini Sang Tokoh Emansipasi
Laili Nur Faizah
Inilah
genius muda beliau dari Jepara
Hadir
sebagai cahaya menerangi kegelapan
Nasib
bangsa dalam kungkungan penjajah
Diperjuangkanya
keadilan dan kesetaraan
Antara
pria dan wanita, semoga mereka
Tetaplah
menjadi manusia yang dititahkan Tuhan
Sebagai
seindah-indah ciptaan
yang
dimuliakan-Nya
Supaya
menjadi hamba-Nya yang taat
Saling
setia menjaga martabat
Jangan
pernah ada sikap membeda-bedakan
Itu
sungguh-sungguh arogan dan tidak arif
Biarlah
pria dan wanita bahu-membahu
Di
dalam rumah tangga dan perjuangan
Saling
menyayang dan menghargai, mewujudkan
Keluarga
sejahtera damai syahdu
Jadilah
sang pria tegar perkasa dan perwira
Memegang
teguh amanat mulia
Sementara
wanita memelihara kelembutan jiwa
Penuh
kasih sayang merawat cinta dan setia
Ciptakan
harmoni menuju kehidupan sarat makna
Membangun
surga di dunia fana dalam limpahan
Ridho
dan berkah-Nya
R.A Kartini
Faiza Firdausy
Sosok wanita ayu yang begitu dipuja oleh kaum wanita Indonesia. Karena beliaulah, wanita bisa merasakan kesamaan derajat dengan pria. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Beliau termasuk keluarga bangsawan Jawa, oleh karena itu gelar Raden Adjeng alias R.A disematkan padanya.
Keberuntungan Kartini memiliki Pangeran Ario Tjondro IV, bupati
pertama Jepara yang merupakan kakeknya. Kakeknya terbiasa memberikan pendidikan
barat kepada anak-anaknya, Karena pemikiran kakeknya yang terbuka, Kartini
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah di ELS (Europese Lagere
School) saat usianya 12 tahun. Kecerdasan Kartini semakin terasah di dunia
sekolah.
Di usia 15 tahun Kartini harus menghentikan langkahnya ke sekolah.
Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit seperti wanita lain.
Untunglah dia memiliki sahabat di negeri Belanda bernama Rosa Abendanon yang
bisa diajak bertukar pikiran. Pertukaran pikirannya dilakukan lewat surat
menyurat. Kartini tahu bahwa kehidupan wanita Eropa dengan Indonesia sungguh
berbeda. Di Indonesia, wanita memiliki status yang rendah yang tak pernah
mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum. Kondisi
tersebut membuat miris hati Kartini. Keinginan untuk memajukan nasib wanita pun
tumbuh di hatinya. Kartini merasa tergugah dan bertekad untuk merubah nasib
kaumnya. Tekadnya semakin lama semakin kuat.
R.A Kartini menikah pada usia 24 tahun dengan K.R.M Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri keempat. Suaminya mendukung keinginan
Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Kartini tak bisa berjuang lama karena
Kartini wafat di usia 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan putra semata wayang.
Sekolah Kartini dibangun oleh Yayasan Kartini di Semarang oleh
keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis yang menggagas Pembangunan sekolah
tersebut. Tak lama pembangunanpun tersebar Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon,
dan daerah lain.
Tak disangka surat-surat Kartini pada sahabat-sahabatnya di Belanda
berhasil dikumpulkan oleh Jacques Henrij (J.H) Abendanon, kemudian menjadi
cikal bahan pencetakan buku dengan tajuk awalnya “Door Duisternis tot Licht”.
Kemudian judulnya diterjemahkan menjadi “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”
Referensi : https://www.gramedia.com/literasi/biografi-ra-kartini
Puan
Arba Khoirunnisa
Ratap,
sendu
Terkekang
dalam angan, diam seribu bahasa
Sendu
pada matamu,
Tak bisa kau sembunyikan
Wahai puan,
Dikau
terpenjara tanpa jeruji
Dibungkam
dengan seribu asa dalam genggam
Kalbumu hancur
tak berirama
Hari bergilir
menembus cakrawala
Kartini, gadis
ayu itu,
Jiwamu tak lagi
terpenjara
Kau membungkam seisi ruangan
Wahai puan,
Dalam pelukan
angin,
Kau kembali
pada sang Agung
Biarkanlah
jiwamu melebur pada alam
BAKTI
Syarifa Ulya
Fidyana
Raganya memang tak hadir di bumi
Namun
Di persemayaman sukmanya meratap
Lunglai terkulai
Menatap para pemudi yang kian abai
Tata krarma tergilas
Terbasuh air mata nestapa
Dalam senyap ia merintih
Norma terinjak tertindih
Berharap kembali beranjak namun nyatanya tertatih
Dalam diam ia meraung
Memandang ceceran
Harga diri para pemudi
Ternodai oleh lelaki
berhidung belang
Adalah Kartini
Putri pertiwi yang masyhur namanya
Bak lentera berhasil arungi lautan gulita
Peluh letih berjuang
Berupaya merebut kembali
Sebuah hak yang harus didapatkan para pemudi
Yang lama tlah dirampas oleh adat
Sebuah emansipasi
Lantas
Mengapa kau lalai wahai para pemudi
Apa kontribusi yang telah kau torehkan
Tuk lanjutkan juang Kartini
Pijarkan kembali namanya
Kian redup dimakan zaman
Bukan hanya sekedar ucapan
Yang terlontar dari lisan
Buktikan sebuah bakti
Yang tulus dari hati
Lantunkan selaksa doa yang kan mengangkasa
Dan jangan relakan
Sejarahnya usang dalam kenang
Masa untuk Era
Fidela Anandita
"Era!" teriak Fauzi sembari berusaha mengejar Era. Tampangnya nampak kesal sebab Era sama sekali tidak memedulikan ia. "Era jangan lari-larian. Entar patungnya jatuh terus—"
"Gue nggak
peduli, wlek. Ayolah, main kejar-kejaran, Fauzi. Gue bosen dengerin guru
sejarah ngedongeng." Era menghentikan langkahnya sejenak. Ia membalik
badan menghadap Fauzi yang kewalahan. Ia nyengir kuda, mirip sekali dengan
bocah. Padahal ia sudah kelas akhir SMA.
"Nggak.
Mendingan kita kembali aja ke rombongan. Nanti kepisah, Era." Fauzi
melanjutkan langkahnya. Ia menarik lengan Era. "Era udah gede, masa
tingkahnya mirip sama anak TK, sih?"
Era memanyunkan
bibirnya. Namun, ia sama sekali tidak menolak saat Fauzi menarik lengannya. Ia
hanya mengekor sembari mendengarkan seluruh ocehan kawan lelakinya. Era tidak
berniat menjawab, hanya menurut lengannya ditarik.
"Kapan Era
bisa bersikap sedikit lebih dewasa? Era udah besar, loh. Fauzi nggak bisa jaga
Era setiap saat. Nanti kalau Era kenapa-napa gimana?" Fauzi membuang napas
tatkala tak mendapat jawaban. Ia mengusap wajahnya, menoleh ke arah Era di
sebelah. "Era nggak dengerin Fauzi, ya?"
Gadis itu
terperanjat sejenak. Ia balas menoleh. Iris cokelatnya beradu dengan iris
kelabu milik Fauzi. "Eh? Gue dengerin Lo, kok."
"Era
ngelamun, ya?" tebak Fauzi sembari menyelipkan anak rambut Era yang jatuh
menutupi pandangan.
"Nggak,
kok." Era menipiskan bibirnya. Membuang muka, beralih mengedarkan
pandangan menyapu sekeliling. Sementara jemarinya masih saling bertautan dengan
Fauzi.
Fauzi diam
sejenak. "Kalau gitu, Era marah, ya sama Fauzi?"
Kali ini Era
tak mengacuhkan Fauzi. Fokusnya telanjur jatuh pada ruangan gelap di ujung
museum. Sepasang alisnya meluncur menciptakan kerutan di dahi. Ia melepaskan
tautan jemarinya dengan Fauzi. Berjalan perlahan tetapi kecepatannya terus
bertambah. Rasa penasarannya muncul ke permukaan.
Fauzi yang
ditinggal berusaha kembali mengejar. "Era mau ke mana?"
"Mohon
perhatiannya, siswa-siswi dari SMA Pancasila sudah ditunggu bapak ibu guru di
parkiran. Dimohon segera berkumpul. Terima kasih atas perhatiannya."
Fauzi berdecak
sesaat tatkala mendengar panggilan tersebut. Ia mengacak rambut cokelat
gelapnya. Ngedumel sendiri lantas bergegas menyusul Era. Sahabat masa kecilnya
ini memang suka merepotkan.
"Era! Udah
disuruh kumpul, bentar lagi pulang. Era mau ke mana?! Nanti kita dicariin guru.
Era ish, jangan ke sana!" teriaknya semakin kesal. Pasalnya Era hanya
mengibaskan tangannya. Sama sekali tidak mempedulikan panggilannya.
Era mengintip
ke arah celah pintu yang terbuka. Dari luar terlihat sangat gelap. Telinganya
tanpa sengaja mendengar suara pedang yang beradu. Juga terdengar ledakan bom dari
dalam ruangan gelap tersebut.
"Bioskop
mini, kah?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.
Era membuka
pintunya lebih lebar. Semakin melongokkan kepalanya ke dalam. Namun, hanya
gelap yang Era lihat. Gadis itu berdecak kesal, mulai melangkahkan kakinya.
"Tempat apaan, sih?" Era mengernyit tatkala Indera pendengarannya
berhenti menangkap suara pedang dan ledakan bom. Seketika ruangan ini menjadi
hening.
"Era!"
Fauzi mencekal lengan Era. Menariknya supaya keluar dari ruangan gelap
tersebut.
Era menoleh sekilas,
lantas menyentak tangan Fauzi yang mencekal. Arah pandangnya kembali pada ruang
gelap tersebut. Kakinya melangkah semakin jauh. Lagi-lagi Fauzi menarik
lengannya.
"Bentar, Zi. Gue kepo di dalem ada apaan. Lo tadi denger suara pedang beradu sama ledakan bom, nggak? Atau itu bioskop mini kali, ya?" tanya Era berhasil menciptakan lekukan pada dahi Fauzi.
"Hah? Fauzi nggak denger apa-apa, Era," sangkalnya sembari menggaruk kuping. Kini ia ikut melongok ke dalam.
"Masa,
sih?" Era mengetuk-ngetuk dagunya dengan ujung jari telunjuk.
"Mending kita masuk aja, liat di dalem ada apa." Tanpa persetujuan,
Era menarik lengan Fauzi.
"Eh,
tapi—"
"KYAAAA,
FAUZI TOLONGIN GUE!" teriak Era tatkala mendadak tubuhnya terbanting
keras. Medan pertempuran! Bagaimana mungkin bisa jadi seperti ini?!
Ruang gelap di
ujung musium menyimpan medan perang seluas ini. Bagaimana bisa? Ini seperti
permainan.
"Era! Era
di mana?!" Fauzi balas berteriak. Ia nekat maju ke tengah orang-orang yang
sedang beradu pedang. Sesekali ia merunduk menghindari ledakan bom yang
dilontarkan. "Era!"
"Jangan ke
sana, Masa!" Tiba-tiba saja sebuah tangan mencekal lengan Fauzi. Menarik
tangannya supaya menepi.
Fauzi
mengernyit tidak mengerti. Ia menatap lama pria dengan kumis cukup tebal.
Sekiranya berusia kepala tiga. Ia seperti mengenalinya. Fauzi kerap melihat
wajah ini di buku sejarah. Apakah …. "Kapitan Pattimura?!" serunya
tak percaya.
Pria yang
dipanggil menyunggingkan senyuman kecil. "Apakah kau lupa dengan temanmu
ini, Masa?" Ia tertawa kecil.
Fauzi menggaruk
kuping. "Eh? Nama saya Fauzi, Kapitan. Bukan Masa. Dan kenapa Kapitan
bilang kalau saya temannya Kapitan? Saya nggak ngerti."
Pattimura
menepuk pundak Fauzi, tersenyum gagah. "Akhirnya kau kembali lagi setelah
lama menghilang. Lebih baik kau pulang, Masa. Kau tidak membawa pedang ataupun
senjata apa pun. Dan hey, mengapa kau mirip seperti anak remaja?"
"Karena
saya Fauzi, bukan Masa, Kapitan," ucap Fauzi meluruskan. Ia masih bingung
dengan semua ini. Ia terbelalak tatkala mengingat suatu hal. "Astaga, Era!
Kapitan tahu di mana Era? Dia gadis, teman saya."
"Kau mirip
sekali dengan Masa." Pattimura menatap manik kelabu Fauzi. "Hanya
berbeda di iris mata. Juga warna rambut."
"Kapitan,
di mana Era? Saya takut kehilangan dia. Apalagi di zaman peperangan seperti
sekarang. Saya bingung kenapa bisa sampai ke sini. Dan saya nggak tahu
bagaimana caranya kembali." Fauzi menjambak rambutnya frustasi. Menggigit
jari-jari tangan gelisah memikirkan Era.
"Temanmu
ada di rumahku. Bersama remaja gadis lainnya. Pegang tanganku, akan aku antar
ke rumahku." Pattimura mengulurkan tangannya. Meminta Fauzi untuk
meraihnya.
"Tapi …
bagaimana dengan Kapitan?" ragu Fauzi bertanya.
"Aku tetap
di sini. Ini sudah tugasku untuk berjuang mengusir penjajah, Masa. Ayo, kemari."
Pattimura meraih tangan Fauzi. Lantas, tanpa aba-aba, latar tempat berubah
menjadi model rumah tempo dulu.
Tidak ada
Pattimura bersamanya. Fauzi berulangkali meneriakkan nama sang pahlawan. Namun,
tetap saja nihil hasilnya.
"Fauzi?"
Fauzi mengalihkan
fokus tatkala mendengar namanya dipanggil. Ia terbelalak lantas air mata luruh
tanpa rencana. Ia berlari menuju asal suara. "Era!" teriaknya
kencang.
Era tersenyum
simpul di tempatnya berdiri. Sementara Fauzi memeluk erat dirinya. "Jangan
pergi-pergi lagi dari Fauzi. Fauzi khawatir sama Era."
"Era
baik-baik aja kok, kamu nggak usah khawatir," hiburnya sembari mengelus
punggung Fauzi.
Fauzi
mengangkat kepalanya. "Era ngomongnya nggak Lo-gue lagi?"
Era melirik
beberapa gadis yang mengintip dari belakang. "Temen-temen Era nggak ngerti
kalau Era pakai Lo-gue, Zi." Era nyengir kuda lantas mengacak rambut hitam
panjangnya.
Fauzi
mengangguk mengerti. Menggandeng tangan Era berniat menemui para gadis di
belakang. Mereka nampak asik melirik Fauzi dengan tingkah seperti tersipu malu.
"Hai,
perkenalkan nama saya Fauzi. Dari zaman 2021. Saya dan Era tersesat di sini,
hehe. Salam kenal, ya." Fauzi menjabat satu per satu tangan para gadis.
Sejenak hening
melingkupi mereka. Hingga akhirnya Era membuka suara. Ia tidak jenak dengan
suasana yang canggung ini. "Apa yang kita lakukan sekarang?" tuturnya
sembari memainkan rok seragam putih abu-abunya.
"Kita
hanya bisa bersembunyi dan menunggu kabar baik datang—jika benar kabar baik
yang datang," lirih Putri—salah satu gadis.
"Apakah
hanya itu? Tapi aku bosan, Putri," keluh Era sembari duduk bersila di
sembarang tempat.
"Sifat
kekanakannya Era muncul lagi, nih. Jangan lari-larian lagi, ya. Awas nanti Era
nggak sengaja bikin bom meledak, loh. Fauzi nggak mau tanggung jawab pokoknya,
ya," gurau Fauzi sembari mencubit gemas pipi Era.
"Palingan
ka—"
DHAAAR
Orang-orang di
dalam rumah serentak merunduk. Para gadis bersembunyi di balik punggung Fauzi.
Mereka nampak sangat ketakutan.
"Belanda,"
bisik Ayu sembari meremas pakaian yang ia kenakan.
"Nah,
'kan, bomnya meledak beneran," celetuk Era yang reflek menggenggam tangan
Fauzi saat mendengar suara ledakan.
"Era ini
bukan saatnya bercanda." Fauzi menatap serius ke arah Era. Lantas ia
berbalik memandangi satu per satu wajah para gadis di sini. "Kalian tetap
di sini. Saya akan cek ke luar."
Lagi, reflek
Era menarik tangan Fauzi. Raut mukanya berubah khawatir. "Fauzi jangan
kemana-mana. Tetep sama Era. Era takut kamu kenapa-napa," mohon Era
sembari memainkan jari-jari Fauzi.
Fauzi tersenyum
tipis. Pelan melepas genggaman Era di tangannya. Hanya ia satu-satunya lelaki
di sini. Sudah menjadi tugasnya untuk melindungi yang lainnya. "Apakah ada
pedang atau apa pun yang bisa saya gunakan untuk melindungi diri?"
Fauzi menggaruk
leher belakangnya. Sebenarnya ia sedikit ragu. Pasalnya, ia belum pernah
bermain pedang atau senjata apa pun selama di zamannya. Ia juga tidak bisa bela
diri. Apakah keputusan yang ia ambil ini tepat? Bagaimana jika terjadi sesuatu?
Fauzi
menggelengkan kepala sekilas. Iris kelabunya perlahan berubah menjadi cokelat
tua. Lalu rambut cokelat gelapnya berangsur menghitam. Era yang menyaksikan
perubahan tersebut memundurkan langkah takut. Mencoba untuk bertanya,
"Fa-fauzi kenapa?"
Fauzi menoleh,
ia tetap Fauzi, tetapi dengan warna iris dan rambut yang berbeda. Ia tersenyum
kecil. Mendekat ke arah Era. "Saya Masa, Era. Masa yang selama ini
bersamamu. Maaf karena Masa tinggal di dalam tubuh Fauzi. Sebetulnya kami orang
yang sama, hanya terpisah jiwa. Mungkin ini terdengar aneh bagi Era. Tapi pada
kenyataannya, Masa dan Fauzi adalah kembar yang hidup dalam satu raga."
"M-maksudmu?"
Fauzi—Masa
mengusap wajahnya yang kebas. "Sebenarnya, Masa yang lebih sering bersama
Era. Tapi Masa menggunakan nama Fauzi karena orang tua Masa tidak mengakui
kalau Masa itu ada. Masa berasal dari zaman ini, tetapi Masa tersesat di
zamannya Era dan malah terjebak di dalam tubuh Fauzi." Masa tersenyum
lembut.
Ia semakin
mendekat ke arah Era. Telapak tangannya menangkup pipi Era. Ibu jarinya
mengusap air mata yang menitik di wajah sahabat. "Seharusnya Masa ada di
medan perang membantu Pattimura. Tapi … saya telanjur di sini bersama kalian.
Maka Masa akan melindungi kalian dari Belanda." Masa menatap sekilas para
gadis di sini. Lantas fokusnya kembali jatuh pada Era. "Era, Masa nggak
bisa selalu ada untuk Era. Masa nggak bisa jaga Era setiap saat. Mulai
sekarang, belajar menjadi lebih dewasa, ya? Supaya Era bisa mandiri tanpa
Masa."
"Fauzi—Masa,
k-kamu ngomong apa, sih? Kamu harus tetep sama Era. Era nggak mau kehilangan
kalian berdua. Entah itu Fauzi ataupun Masa." Era menyingkirkan tangan
Masa yang menangkup pipi. Air mata yang sempat mengering kembali tumpah ruah.
Ia masih sulit menerima kenyataan ini. Rasanya seperti tidak mungkin ada dua
jiwa dalam satu raga.
Masa menipiskan
bibir. "Masa pergi dulu. Jaga diri Era baik-baik. Ajak teman-temanmu untuk
bersembunyi. Jangan ada yang keluar sebelum Belanda pergi dari halaman
rumah."
"Tapi—"
Masa bergegas
menuju tempat persenjataan. Ia hafal dengan rumah Pattimura. Baginya tidak
sulit menemukan pedang di sini. Ia mengasah pedangnya sekilas. Tersenyum
singkat ke arah Era. Lantas bergegas keluar rumah.
"Masa!"
Tanpa pikir panjang, Era berniat menyusul Masa. Namun, Putri lebih dulu
mengunci lengannya.
"Era,
jangan," bujuk Putri masih menahan langkah Era. Ayu ikut membantunya
"Lepas,
Put! Era nggak bisa biarin sahabat Era ada di dalam bahaya," sanggahnya
masih berusaha berontak. Terlihat jelas khawatir di raut wajahnya.
"Masa
meminta kita untuk bersembunyi. Dia akan baik-baik saja, Era. Kau tidak perlu
khawatir. Lebih baik kita bersembunyi dulu," tambah Ayu sembari
menenangkan Era yang terlihat sangat cemas.
"Ayo,
Era." Putri menarik lengan Era menjauh dari tempat mereka berdiri. Era
tidak menjawab apa pun, menurut meskipun di dalam pikirannya dipenuhi oleh
Masa.
Sementara di
depan sana, Masa berhadapan dengan lima orang Belanda. Lelaki itu menyedekapkan
tangan. Pedangnya ia simpan di sebelah tubuh. Dagunya terangkat, terkesan
menantang. Ia sudah tidak asing lagi dengan mereka. Sebab pada dasarnya di
sinilah rumahnya.
"Kawan-kawan,
lihatlah! Ternyata ada lelaki yang bersembunyi di rumah." Salah seorang
Belanda menunjuk Masa. Ia tertawa meremehkan diikuti oleh teman-temannya yang
lain.
Masa yang
mendengar itu menggeram tidak terima. Jemarinya mengepal. "Saya di sini
bukan tanpa alasan! Lalu, bagaimana dengan kalian? Mengapa kabur dari medan
perang? Apakah kalian takut dengan kegigihan rakyat Maluku, hem?" Masa
mengedikkan bahu. Ia bersiap menggenggam pedang di sebelah tubuh. Antisipasi
jika terjadi serangan mendadak.
"Sialan,"
geram Leo si pemimpin empat lainnya. "serahkan Putri Era kepada kami. Kami
tahu kau di sini sebab melindungi Putri Era 'kan? Serahkan dia atau nyawamu
menjadi gantinya."
Masa mengepal
marah tatkala mendengar penuturan Leo. Wajahnya memerah. Mata lembutnya berubah
tajam. Iris cokelat tuanya menatap tidak suka. Tanpa sepengetahuan, Masa
mengayunkan pedangnya. Namun, Masa kalah cepat.
Leo sudah
bersiap dengan pistolnya. Peluru panas itu meluncur, tertanam pada lengan Masa.
Reflek Masa mengepalkan tangan. Meraba luka, merah darah mengalir deras. Tidak
menyerah, Masa kembali mengayunkan pedang. Kali ini berhasil menggores lengan
Leo. Pria itu gesit menghindar.
"Saya
tidak akan pernah menyerahkan Era pada pecundang sepertimu," desis Masa
tepat di telinga Leo. Pedangnya bergerak cepat menghunus perutnya.
Satu hal yang
tidak Era ketahui. Dulunya Era pernah ada di zaman ini. Sebagai putri, dan
Belanda menginginkannya. Sudah tugas Masa untuk melindungi Era.
Leo meraba
perutnya yang bersimbah darah. Menatap benci ke arah Masa. Cepat sekali gerakan
yang Masa lakukan. Hingga Leo sendiri tidak menyadari keberadaan Masa tepat di
sebelahnya.
"Sekarang,
kau mau apa, huh?" Masa kembali mendesis. Ia tersenyum miring. Mencabut
kasar pedangnya. Hal itu berhasil membuat Leo melotot kesakitan.
Leo semakin
mencengkram perutnya. Gemetar tangannya menarik pelatuk. Tanpa sepengetahuan
Masa, peluru panas tersebut tertanam mulus di perutnya. Seragam SMA yang Masa
kenakan seketika berlumur merah.
Masa yang tidak
menyadari pergerakan melotot merasakan nyeri di area perut. Ia menatap tajam
Leo yang masih sanggup berdiri.
"Jika aku
mati, maka kau tidak boleh selamat." Leo tertawa kecil. Ia mulai kesulitan
bernapas. Luka di perutnya semakin nyeri. "Kalian, cari Putri Era di
dalam! Tak usah pedulikan diriku."
Empat orang
yang berniat membantu Leo serentak mengurungkan niatnya. Sedikit ragu
meninggalkan pemimpin mereka yang terbaring merintih kesakitan.
Empat Belanda
yang masih berdiri bergegas mencari Era. Namun, Masa mencegah. Lelaki itu
mengayunkan pedangnya. Berhasil menggores leher salah satu dari mereka. Gemetar
Masa mencoba bangkit. Memaksakan diri untuk bertarung dengan tiga yang tersisa.
"Kalian
tidak bisa menyentuh Era!" tegasnya dengan wajah memerah marah.
Masa mulai
menyerang. Namun, gerakannya melambat. Peluru yang tertanam di perutnya sungguh
merepotkan. Rasanya sangat nyeri, tetapi ia tidak akan menyerah sebelum
nyawanya melayang.
"Iya
kah?" Bara, salah satu dari mereka tersenyum sinis. Ia memainkan pistol,
lantas mengarahkan pelatuk pada tungkai Masa.
Masa sempat
menghindar. Akan tetapi, tetap saja peluru itu berhasil menggores luka. Masa
tersungkur. Tubuhnya terasa begitu remuk. Ia terbelalak teringat sesuatu.
"M-masa tidak boleh mati, atau Fauzi juga akan ikut mati. Masa tidak boleh
menyerah, kau menggunakan tubuh orang lain. J-jangan s-sam-pai M-ma-sa
m-ma-ti," bisiknya pada diri sendiri. Berusaha kembali bangkit.
Baru saja telapak tangannya berhasil menepak, Bara justru menginjak punggungnya. Masa kembali merebah, mulutnya memuntahkan darah. Masa mengembuskan napas lelah. Matanya terpejam, berniat kembali mengumpulkan tenaga.
Bara menendang tubuh Masa. Lantas ia berjongkok, menarik leher Masa secara kasar. Memaksa lelaki itu untuk menatapnya. "Kau sudah membunuh pemimpin kami. Maka kau juga harus mati!" desisnya mengancam.
Masa tertawa
kecil. Darah mengalir dari hidungnya. Iris cokelatnya meredup. Ia sungguh tak
tahu lagi harus bagaimana. Jika dirinya mati, maka Fauzi akan ikut tiada.
Lantas, apa yang harus ia lakukan sekarang? Tubuhnya sangat lemah. Beranjak
saja ia tak mampu.
Tanpa
sepengetahuan Masa, Era berdiri mematung di bingkai pintu rumah. Gadis itu
membekap mulutnya tak percaya. Air panas bergulir cepat mengaburkan pandangan.
Jemarinya gemetar menyaksikan kawan masa kecilnya berlumur darah.
"Masa
…," lirihnya tak terdengar.
Bara menyeringai menyaksikan Masa nampak sangat lemas. Ia memamerkan pistol di depan wajah Masa. Lantas menciptakan luka baru di tempat yang sama dengan yang Leo buat. Masa yang menerima itu melotot menahan rasa sakit. Urat-urat lehernya menegang. Apakah ini akan menjadi akhir? Akhir baginya juga Fauzi.
Bara bangkit
setelah menanamkan peluru pada perut Masa. Kasar ia menginjak dada lelaki
berusia tujuh belas tahun tersebut. Masa memuntahkan darah sebagai responnya.
Memejamkan mata merasakan sakit yang menjalar. Membiarkan Bara pergi dari
hadapannya.
"MASA!" teriak Era tatkala melihat bagaimana Bara memperlakukan Masa. Air matanya tumpah ruah. Tanpa berpikir, Era berlari menuju Masa.
Masa menoleh ke sumber suara. Tersenyum getir. "E-ra."
"Masa, Fauzi, Era mohon bertahan. Masa sama Fauzi jangan tinggalin Era. Kalian harus selalu ada untuk Era. Era mohon, bertahanlah." Era mengusap wajah Masa yang celemot darah. Memangku kepalanya. Menggenggam erat jari-jari tangan Masa.
"E-ra," panggil Masa. Telunjuknya lemah menghapus air mata. Tersenyum lembut. "Maaf karena Masa nggak bisa selalu ada untuk Era. Maaf karena Masa, Fauzi ikut terluka. Andai Masa t-tiada. Maka—"
"Nggak. Masa harus bertahan. Demi Era, demi Fauzi juga. Janji sama Era kalau Masa harus bertahan." Era mengusap air mata. Tangisnya kian meledak.
"M-maaf,"
lirih Masa diiringi dengan embusan napas berat.
Iris cokelat Masa berangsur kembali menjadi abu. Begitu juga rambutnya. Warna hitam itu kembali menjadi cokelat gelap. Pertanda bahwa jiwa Masa sudah mulai meninggalkan tubuh Fauzi.
Era yang
melihat itu semakin meremas jemari Masa. Tangisnya kian menjadi. Era menggeleng
cepat tatkala Masa hanya diam menatap redup dirinya dengan iris kelabu.
"Era,
ma-af. Masa tidak memiliki pilihan. Masa sudah tidak sanggup lagi bertahan.
Setelah ini kembalilah ke zamanmu. Meskipun tanpa Masa ataupun Fauzi.
Kem-bali-lah. Selalu ingat ini, bahwa Masa sangat menyayangi Era. Meskipun
selama ini Era mengenal Masa sebagai Fauzi. Masa izin pamit, Era. Kembalilah ke
zamanmu. Se-la-mat t-tinggal." Masa tersenyum lembut sebelum iris kelabu
tersebut sempurna tenggelam di balik kelopak.
Kacau, Era mengguncangkan tubuh Masa. Berharap dengan itu kawannya kembali bernapas. Namun sayang, semua telanjur terjadi. Salahkan ia. Sebab dirinya lah semua menjadi kacau seperti ini. Jika saja Era tidak penasaran dengan ruang gelap di ujung museum, orang yang sangat ia sayang tidak akan pernah pergi meninggalkannya.
Era memeluk
erat jasad Masa—juga Fauzi. Membawanya dalam dekap. Menumpahkan segala sesak
dalam dada. "Maafin Era yang selama ini selalu bikin Masa khawatir. Maafin
Era karena selama ini nggak bisa jadi sahabat yang baik buat Fauzi. Maafin Era
karena Era kalian pergi. Masa, Fauzi, Era mohon, kembali …." Percuma. Dua
jiwa dalam satu raga tersebut telanjur menghadap kepada Tuhan.
Sementara itu,
Bara dan dua temannya berniat menangkap Era. Namun, semacam ada dinding
penghalang yang mengelilingi gadis tersebut. Mereka tidak bisa menyentuh Era.
Mereka saling berpandangan tatkala tubuh Era berubah menjadi serpihan emas,
begitu juga dengan Masa. Serbuk emas tersebut terbang dibawa angin.
Meninggalkan kebingungan pada diri para Belanda.
Serpihan emas
tersebut kembali menyatu dan membentuk tubuh Era dan Masa. Mereka sudah
berganti zaman. Era melihat ke sekitar. "Ini ruangan gelap di ujung
museum. Era dan Masa udah pulang," pekiknya antara bahagia dan sedih.
Ia kembali menatap mayat Masa. Lelaki itu masih setia memejamkan mata. Seragam putih abu-abunya tidak karuan. Celemot dengan darah.
Era mengelus
surai cokelat sahabatnya. "Era nggak akan pernah tau kalau selama ini ada
Masa di dalam tubuh Fauzi jika kita nggak pernah tersesat di zaman peperangan.
Era minta maaf sama Masa dan Fauzi. Era memang bukan teman yang baik." Era
mengembuskan napas berat. "Apa yang harus Era lakukan setelah ini?
Guru-guru pasti nggak percaya melihat Fauzi meninggal seperti ini. Apalagi jika
aku menceritakan tentang apa yang terjadi."
Era menelusuri
gurat wajah lelaki di hadapan. Lantas ia mengelus surai cokelat gelapnya.
"Fauzi, Masa, Era sangat menyesal. Apa yang harus Era lakukan setelah ini
tanpa kalian berdua?"
Hening sejenak. Era menengadah, mencegah cairan bening tersebut kembali tumpah. Ia sadar bahwa sahabatnya ini tidak akan pernah menjawab pertanyaannya.
"Fauzi ada di sini. Masa untuk Era, Fauzi juga," lirih sebuah suara.
Era terbelalak tatkala mendapati lelaki itu mengerjapkan mata. Entah Masa atau Fauzi, ia menatap redup ke arahnya.
Air mata
kembali bergulir turun. Bibirnya gemetar berusaha berucap, "M-masa?
Fa-fauzi? I-ini beneran kalian?"
Jiwa dalam raga
yang sama itu tersenyum getir. "Hanya ada Fauzi, Era. Masa udah nggak
ada."
"M-maksudmu?"
Era membekap mulutnya menahan luapan air mata.
"Kita
kembali tepat waktu. Jiwa Fauzi masih ada saat jiwa Masa pergi. Jadi, Fauzi
masih bisa selamat. Karena kita berhasil kembali ke zaman kita," jelas
Fauzi sembari berusaha duduk.
"M-masa …
d-dia—"
"Masa akan
selalu ada di hati Era. Masa untuk Era. Masa akan selalu ada meskipun jiwanya
sudah tiada, Era. Saat sendirian, Fauzi sering mengobrol dengan Masa. Dan
memang Masa yang lebih sering bersama Era. Fauzi sangat sayang pada Masa. Fauzi
sedih kehilangan kembaran Fauzi. Masa udah kayak separuh jiwanya Fauzi,
Era." Fauzi menipiskan bibir. Kejadian ini sungguh mengguncang dirinya.
Era menunduk
mendengar penjelasan Fauzi. "Maafin Era, Zi. Andai Era nggak penasaran
sama tempat ini, semua nggak akan pernah terjadi. Dan Masa akan tetap ada
bersamamu, bersama kita."
Fauzi
menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Era. Ini sudah takdir dari Tuhan. Masa
akan selalu ada di dalam hati kita. Selama kita mengenangnya."
- TAMAT-
Tak Ada Yang Berubah
Ratu Balqis El Achzaby
Lampau
kala angin berhembus sepoi sepoi
Namun
kini hanya memekik hampa
Alam
yang dahulu permai
Seakan
terbuat sunyi lamat-lamat
Tenang
yang terganti riuh
Namun
bukan ramai akan insan
Melainkan
para saksi bisu keruhnya alam sekarang
Tak
beringas namun hanya menanti perubahan
Kini
alam rusak tanpa jejak
Kiranya
hancur karena takdir
Namun
nyatanya ia tidak mempercayaimu lagi
Ia
hanya diam mengikuti arus nya
Seakan
tak paham akan keadaan
Para
insan ini tak berkutik akan salahnya
Diam
tak ada yang berubah
Namun
menanti perubahan
~THANK YOU~
Made by :
- Faiza Firdausy
- Ratu Balqis El Achzaby
- Laili Nur Faizah
- Isma Rina M
- Novia Rahmah
- Faqita Amalia
- Fidela Anandita
- Syarifa Ulya Fidyana
- Arba Khairunnisa
Kerennnn
BalasHapusMantap
BalasHapus