SELAMAT DATANG DI BLOG OPBS

MAN 1 SURAKARTA

Program Boarding School Sains Riset dan Teknologi MAN 1 Surakarta adalah salah satu program unggulan jurusan IPA yang menyediakan fasilitas asrama dan pengembangan diri untuk siswanya. Program ini diharapkan untuk menyiapkan peserta didik yang berakhlakul kharimah, taat dalam beribadah, dan mempunyai bidang keahlian sains, bahasa Inggris, dan ICT (Information and Communication Technologies) sehingga mampu mengembangkan diri sebagai intelektual muslim.

Our Account

YOUTUBE

Visit

INSTAGRAM

Visit

TWITTER

Visit

BLOG

Visit

Mading Dan Kegiatan

Selasa, 16 Februari 2021

PRAY FOR INDONESIA

PRAY FOR INDONESIA




Ada apa dengan Alam Indonesia?

Beberapa pertanyaan mungkin saat ini banyak bertebaran dalam akal budi kita, tentang kondisi bangsa dan keutuhan hidup manusia dalam suatu negara. Siapa sangka, bencana berduyun duyun tiba dan mewarnai cerita di awal tahun Indonesia. 

Jika kita bertanya, tentang siapakah yang bertanggung jawab dengan kejadian ini? Tentu saja tanggung jawab kita bersama, namun tak salah pula bila tanggung jawab terbesar itu ada pada wakil-wakil yang kita pilih selama periodesasi tertentu, baik itu lembaga Eksekutif, lembaga legislatif, ataupun lembaga pembantu yang kita kenal dengan lembaga ad hoc seperti BMKG

Pada tahun sebelumnya, BMKG memberikan Warning mengenai prakiraan cuaca yang akan menimpa beberapa daerah di Indonesia (bacahttps://bnpb.go.id/ ). Perkiraan  cuaca yang di publish oleh BMKG, memang benar adanya. Hujan lebat terjadi di berbagai daerah, lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah banjir terjadi karena hujan? atau malah karena ulah buah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab?.

Jika hujan yang menyebabkan bencana, maka solusi yang baik adalah berkomunikasi dengan langit sebaik dan sebijak mungkin. Namun, seperti apakah caranya? Hmm mungkin keyakinan menjadi kuncinya. Tetapi, jika ulah tangan manusia yang menyebabkannya, maka tak ada solusi lain selain berhubungan baik dengan alam tanpa merusak ataupun memalingkan pandang pada kondisinya.

Siapakah kita?
Pemimpin dunia?
Bakteri dunia?
Pembuat kebijakan tamak?




CERPEN 

Dalam Perjalananku

 

"Sekarang bagaimana?" tanya seseorang yang tengah mencengkeram kepalanya. Menjambak rambut cokelat keemasan itu pelan. Kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi apa yang kudu ia lakukan. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Merebahkannya begitu saja. Menatap gemintang gemerlap di langit hitam.

 

"Sebisa mungkin kita segera menemukan penawar, jika tidak ...," seseorang yang lain menggantungkan kalimatnya. Seakan tidak tega melanjutkan. Ia menyibakkan rambut hitam legam panjangnya. Melangkah. Mengikuti jejak lelaki yang kini tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa.

 

"Wabah ini kian hari kian meresahkan warga. Setiap harinya pasti tak pernah absen seseorang yang kehilangan nyawa akibat wabah ini. Kabarnya, sudah puluhan tenaga medis yang telah meregang nyawa. Mereka kewalahan mengurus pasien yang kian membludak. Ditambah penawar yang tak kunjung ditemukan," imbuh lelaki itu. Perlahan ia kembali menegakkan tubuhnya. Menatap gadis yang tengah duduk di sebelah.

 

"Kau benar Alan, kita harus segera bertindak. Jika tidak, semua akan terlambat." Gadis itu menghela napas berat. Lelah memikirkan solusi beberapa hari terakhir ini. Meremas jemari tangannya tanda tengah berpikir keras.

 

Sedangkan Alan di sebelahnya nampak mengalihakan fokus pada tumpukan buku yang berserak di atas meja. Jemarinya bergerak luwes menata buku-buku yang berantakan. Membuatnya melayang di udara. Ia nampak asyik hingga terkesan mengabaikan ucapan gadis di sisinya. Ia hanya penat. Mungkin dengan bermain-main sebentar rasa lelahnya akan hilang.

 

Geram sebab tak mendapat respon dari lawan bicara, gadis itu angkat suara, "ALAN! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!" sentak gadis itu sedikit kasar.

 

Alan terlonjak. Buku-buku yang melayang kini berjatuhan. Membuatnya kembali berantakan. Ia menoleh ke arah gadis yang tengah mengamuk di sisinya. "Hey Iselin! Kau merusak tatanan bukuku," protes Alan tanpa rasa bersalah. Kembali menggerakkan jemarinya, tak peduli jika Iselin kembali mengamuk. Membuat buku-buku itu kembali melayang.

 

"Kau ... bisa-bisanya masih memikirkan buku-buku itu. Posisi dunia tengah berada pada titik terendah dan kau justru asyik memainkan buku-buku itu. Sungguh, aku tak habis pikir. Dasar lelaki aneh," gerutu Iselin usai mendengar jawaban Alan. Ia menjadi tidak yakin bahwa lelaki gila itu adalah kakaknya.

 

"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Dalam posisi saat ini, kekuatanku sama sekali tak ada gunanya. Biarkan aku bermain-main sebentar agar jemariku tidak kaku. Sudah lama sekali tidak aku gunakan semenjak pemerintah menerapkan kebijakan tidak boleh keluar rumah. Aku hanya khawatir jika kekuatanku mendadak hilang gegara cemburu sebab lama tak kugunakan. Aku hanya memastikan apakah kekuatanku kabur meninggalkanku atau tidak," terang Alan dengan wajah polosnya yang menjengkelkan. Ia kembali menggerakkan jemarinya menata semula buku-buku yang berjatuhan.

 

Iselin menghela napas kasar. Pertengkaran dengan kakaknya itu hanya akan membuang tenaga. Ia akan berlagak polos dan seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Iselin memutar bola mata malas. Beranjak menuju kamar. Meninggalkan Alan sendirian dengan wajah kebingungannya. Jujur, Alan memang tak mengerti mengapa Iselin tiba-tiba marah padanya.

 

"Hey, kau mau ke mana?" Alan reflek menghentikan aktivitas. Ikut berdiri menyusul Iselin.

 

"Tidur!" ucap Iselin disertai dengan suara pintu yang dibanting keras.

 

Alan mematung di tempat, lantas mengangkat bahunya tak mengerti. Mungkin Iselin hanya lelah. Lagipula ini sudah larut malam. Waktunya untuk mengistirahatkan pemikiran. Alan melangkahkan kaki pergi dari depan kamar Iselin. Meskipun hingga pagi nanti Alan terus berdiri, tetap saja Iselin tak akan membukakan pintu. Sia-sia saja tenaga yang Alan keluarkan.

 

Langkah Alan membawanya menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering, maka ia menuang segelas air putih. Lantas bersiap meneguknya sebelum suara teriakan terdengar. Teriakan itu berasal dari kamar Iselin. Maka, tanpa diulang yang kedua kali, Alan melesat menuju kamar adiknya. Meletakkan gelas di sembarang tempat. Tak peduli meski gelas itu jatuh lantas pecah berkeping-keping.

 

Alan mendobrak pintu kamar Iselin sekuat mungkin. Pintu itu terkunci. Dasar Iselin, setiap bertengkar selalu saja seperti ini. Menyusahkan orang saja.

 

"Iselin! Kau mendengarku?" teriak Alan tanpa menghentikan aksinya mendobrak pintu.

 

Tak ada jawaban dan tak ada lagi teriakan. Bulu kuduk Alan meremang. Pemikirannya kalut. Hal-hal buruk hilir mudik melintas di dalam kepalanya. Apa yang terjadi pada Iselin di dalam sana? Oh, Tuhan ... semoga tidak ada hal-hal buruk yang terjadi. Alan berulangkali mencoba. Seluruh kekuatannya ia kerahkan. Namun, sama sekali tak berhasil membobol pintu kayu tersebut. Seakan ada kekutan lain yang menahannya.

 

Pemikiran tersebut membuat Alan semakin khawatir. Mengingat, Iselin tidak memiliki kekuatan seperti yang Alan miliki. Pemikiran buruk itu mendorong Alan untuk lebih kuat membobol pintu kamar. Alan tersengal usai pintu itu berhasil terbuka.

 

Ia terbelalak marah. Jemarinya mengepal kuat. "Siapa kau?!" tanya Alan dengan nada dinginnya. Giginya bergemeletuk menahan diri untuk tidak menyerang.

 

Di hadapannya, berdiri seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan tudung senada. Lelaki itu membopong tubuh Iselin yang tak sadarkan diri. Ia tersenyum licik, tidak mengindahkan pertanyaan Alan. Berbalik pergi masuk ke dalam lubang hitam yang berputar.

 

Maka segera Alan menyambar ponselnya. Ia teringat akan sesuatu. Mengetikkan pesan singkat. Lantas menyusul masuk ke dalam lingkaran hitam.

 

"Salah satu dari mereka telah datang. Semua sesuai dengan rencana. Aku akan menyusulnya untuk menyelamatkan Iselin. Dan, membawa pulang obat penawar tersebut. Tunggu aku di laboratorium."

 

***

 

"Huh ... huh ... huh." Iselin terengah berusaha mengatur napas. Ia menatap sekeliling. Tempat apa ini? Apakah makhluk yang diceritakan Alan yang membawanya kemari? Entah mengapa, ketakutan menjalar memenuhi rongga dada Iselin. Ia berniat untuk bangkit dari posisi meringkuknya. Memposiskan diri menjadi duduk. Namun, sesuatu menghalangi pergerakannya. Tangan dan kakinya sempurna terikat. Kencang sekali. Ia berusaha melepaskan ikatan. Namun, semakin ia berusaha, tali itu kian kuat mengikat. Justru menimbulkan luka pada pergelangan tangannya.

 

Ia menunduk, melupakan ikatan pada tangan. Mati-matian menahan air mata supaya tidak tumpah. Ia tidak yakin apakah rencana Alan kali ini akan berhasil. "Kakak ... aku ... aku takut." Iselin terisak, tak sanggup menahan luapan air mata.

 

"Lebih baik diapakan gadis ini, Tuan?" samar terdengar suara seseorang bertanya.

 

Iselin segera menghentikan tangisnya. Berusaha menguping pembicaraan.

 

"Tunggu hingga Alan tiba. Setelah itu terserah mau kau apakan dia. Mau kau jadikan makanan singa pun aku tak masalah," ucap lelaki yang dipanggil tuan.

 

"Alan adalah ujung tombaknya. Jika ia berhasil merebut penawar ini, maka gagal sudah rencana kita untuk menguasai dunia. Virus Corona yang kita sebar akan musnah. Maka, satu-satunya jalan adalah, melenyapkan Alan dari dunia. Dengan begitu, penawar ini tak akan jatuh ke tangan siapapun. Dan gadis itu juga harus mati, jika tidak, ia yang akan membawa pergi obat penawar ini."

 

Iselin tersentak kaget. Dadanya bergemuruh. Sesak rasanya. Apa ... apa yang orang itu katakan? Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Iselin menggeleng kuat-kuat. Mengusir resah di dalam hatinya. Ia yakin, Alan akan berhasil membawa pulang penawar tersebut. Serta ... membawanya pergi dari tempat ini.

 

"Alan ... datanglah, aku mohon. Demi dunia," bisik Iselin lebih kepada diri sendiri.

 

"Oh, iya, bagaimana kabar palsu yang kau sebar?" tanya seseorang yang dipanggil tuan.

 

"Masyarakat dunia percaya, Tuan. Mereka percaya bahwa kebocoran yang terjadi tidaklah disengaja. Berita palsu ini semakin diyakini ketika mengetahui warga kita juga terjangkit virus Corona. Padahal yang sebenarnya, semua ini telah direncanakan."

 

"Bagus, kita tunggu hingga dunia tak lagi sanggup menahan gejolak virus ciptaan kita." Lelaki itu tersenyum miring penuh kemenangan.

 

"Tidak sebelum kau berhasil mengalahkanku." Suara dingin nan berat memecah kesenangan seseorang itu.

 

Iselin mendongak. Telinganya mendengar suara yang tak asing. Benar saja, kini Alan telah berdiri menantang dua lelaki lain di hadapannya. Ia mengepakkan sayap putih bersihnya perlahan hingga menyentuh tanah. Lantas sayap itu menghilang di balik tubuh. Iselin tersenyum melihat kedatangan malaikatnya.

 

"Kakak!" pekik Iselin pelan.

 

Alan menoleh, berjalan mendekat ke arah Iselin. Berjongkok di hadapan gadis yang amat ia sayangi. Mengembangkan sayap putihnya. Lantas membiarkan sayap itu menenggelamkan tubuh Iselin. Iselin nampak menikmati pelukan aneh yang jarang Alan lakukan padanya. Memeluk dengan sayap.

 

"Kakak di sini, tak usah takut. Hem?" bisik Alan tepat di telinga Iselin. Jemarinya melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki Iselin.

Iselin mengangguk, bulir air menetes membasahi pipinya. Alan dengan lembut mengusapnya, lantas tersenyum. Menyudahi kegiatannya memeluk Iselin. Sayapnya kembali mengatup lantas menghilang.

 

"Tunggu di sini, aku selesaikan dulu urusanku dengan lelaki itu." Nada suara Alan kembali sedingin es.

 

Lelaki itu tertawa meremehkan. "Kau justru mengantarkan nyawamu, Alan." Lelaki itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan wajah memerah Alan.

 

Tak terima, Alan mendaratkan tinjuannya pada wajah Tuan Pengecut tersebut. Membuatnya jatuh tersungkur di atas tanah. "Kau salah, Julian. Berikan penawar itu atau nyawamu sebagai gantinya." Mata Alan berkilat merah.

 

Ia berdiri di atas tubuh Julian. Kaki Alan ia pergunakan untuk menghimpit tubuh Julian agar tak bisa bangkit. Bersiap menghantam wajah itu dengan kepalan tangannya. Namun, dari belakang, punggungnya melepuh tertembus peluru. Ia mengerang kesakitan. Segera mengembangkan sayap berniat menghampiri sang penembak. Akan tetapi, Alan kalah cepat dengan pergerakan tangan Julian.

 

Julian dengan gesit menahan kaki Alan. Memaksa Alan untuk diam di tempat. Sayapnya mengepak-ngepak. Berusaha meloloskan diri. Sedangkan di depan sana, orang tersebut mengacungkan tembaknya. Siap membidik jantung. Alan terbelalak, dalam kondisi seperti ini ia tak bisa melakukan apapun. Berulang kali Alan berusaha menghindari puluhan peluru. Darah menetes lumuri tubuhnya. Hingga satu tembakan melukai sayapnya. Membuat Alan tersungkur di atas tanah. Kehilangan keseimbangan.

 

Iselin menutup mulut tercekat. Air mata meluber basahi pipinya. Tidak. Alan harus bertahan. "Kakak ...." Iselin kembali terisak.

 

Alan menoleh menatap mata Iselin. "Aku senang mendengarmu memanggilku dengan panggilan itu." Tersenyum.

 

Iselin terisak kian kuat, menggeleng kencang. "Tidak ... Kakak harus bertahan, demi dunia, demi Iselin." Iselin membekap mulutnya sendiri.

 

Alan tersenyum. "Tak apa, Iselin. Kakak baik-baik saja," ucap Alan gemetar dengan salah satu tangan menggenggam erat botol penawar. Berusaha menyembunyikannya. Tadi ia sempat merebut botol itu dari saku Julian.

 

Julian tertawa terbahak-bahak. Ia berjongkok di hadapan Alan dengan pistol sempurna menempel pada pelipis Alan. "Ulululu, ucapkan salam perpisahan pada adikmu tercinta, Alan." Julian tersenyum licik.

 

Alan menatap tajam manik mata lelaki di hadapannya. "Kau. Akan. Menyesal," ucap Alan penuh penekanan.

 

Sedangkan Iselin di kejauhan sana, meski gemetar, perlahan mendekati tubuh Alan. Dalam benaknya terus merapal doa. Berniat menyelamatkan tubuh kakaknya. Namun, sebelum sempat tiba, suara tembakan terdengar keras. Iselin mematung menyaksikan darah segar mengalir basahi wajah Alan. Julian bangkit, tertawa puas. Ia menjatuhkan begitu saja pistol yang semula digenggamnya.

 

Sakit. Sesak. Itu yang Iselin rasakan. Matanya memanas. Air mata tanpa bisa dicegah mengalir deras. Segera menuju kakaknya. Jemarinya dengan gemetar meraih pistol di sisi kepala Alan. Dengan derai air mata Iselin menembakkan peluru itu ke arah setiap orang yang berada di ruangan. Membuatnya bergelimpangan. Darah tercecer di mana-mana.

 

Iselin menangis, memangku kepala Alan. Mengusap pipinya lembut. "Kakak ... Iselin mohon ...." Pecah sudah. Iselin memeluk erat tubuh kaku Alan. Membelai sayap yang beberapa saat lalu menenggelamkan tubuhnya. Kini sayap itu berlumur warna merah.

 

Iselin beralih pada jemari Alan yang menggenggam botol penawar. Ia meraihnya, memasukkan botol itu ke dalam saku.

 

"Cabutlah sehelai bulu di sayapku, lalu kenakanlah pada sela telingamu. Pejamkan matamu dan tiba-tiba kau sudah berada di tempat yang kau inginkan. Lakukan ini bila tak memungkinkan bagiku untuk pulang bersamamu. Kau harus menyelamatkan dunia, Iselin adikku."

 

Iselin teringat kata-kata Alan beberapa hari lalu. Maka, dengan sisa-sisa tangisan, ia mencabut sehelai bulu pada sayap Alan. Mengenakannya di sela telinga. Kemudian memeluk tubuh kakaknya erat, memejamkan mata. Mengucapkan dalam hati tempat tujuan.

 

"Iselin sayang Kakak." Tanpa direncana, air mata mengalir menetes pada luka tembakan di pelipis Alan. Ia memdekap kepala kakaknya penuh kasih sayang. Membawa serta ia kembali ke rumah.

 

"Kakak juga sayang Iselin. Asal kau tak mengamuk lagi padaku karena masalah sepele." Suara berat itu mengagetkan Iselin yang tengah memeluk erat tubuh Alan. Iselin mendongak, menyaksikan iris biru tua menatapnya lembut. Dengan darah yang melumuri keseluruhan wajah itu.

 

"Ka-kak?" tanya Iselin terbata.

 

Alan mengangguk, tersenyum lembut ke arah Iselin.

 

"Bagaimana mungkin? Iselin kira Kakak sudah—"

 

"Sstt." Alan meletakkan jari telunjuk di bibir Iselin.

 

"Air matamu yang mengalir di luka tembak di pelipis itulah yang kembali membangkitkanku," ucap Alan enteng.

 

Iselin merengut. Memukul pelan dada Alan. Membuatnya meringis kesakitan. "Mengapa tidak mengatakan hal itu sebelumnya?" ucap Iselin yang kemudian menangis pelan.

 

"Kau tidak bertanya," lagi-lagi Alan menjawabnya enteng. Membuat Iselin mengerucut sebal. "Oiya, tujuan kita kemana?"

 

"Rumah."

 

"Bagaimana bila aku membawamu terbang menuju laboratorium?" tawar Alan.

 

"Kau harus mandi dulu, Kak," elak Iselin.

 

Alan tersenyum jahil. "Pegangan yang erat, Iselin! Kita meluncur sekarang."

 

"ALAN!"

 

***


 PUISI

Bangkitlah Bumi Pertiwi


Bumi Nusantara sedang berduka

Keretakan terjadi dimana saja

Air menggenang di sebagian wilayah Indonesia

Mimik wajah ketakutan ada dimana-mana

 

Banyak saudara kita yang tengah berduka

Kehilangan harta bendanya

Terpisah dari orangtuanya

Bahkan ada yang merengang nyawa

 

Diluar sana mereka sendiri dengan ketakutannya

Memeluk lutut seraya terus berdoa

Meringkuk menahan dinginnya udara

Dan tidur dengan hati gundah luar biasa

 

Mereka hanya bisa menanti

Menanti uluran tangan orang berhati peri

Mereka yang memberi dengan murah hati

Memberi tanpa mengharap kembali

 

Bersyukurlah kalian semua yang tidak mengalami

Teruslah berdoa untuk kembalinya bumi pertiwi

Segeralah sehat kembali

 

PANTUN

Jalan-jalan ke Surabaya

Tidak lupa membeli roti keju

Lekas sembuh Indonesia

Kami semua merindukanmu


 LUKISAN/POSTER





Made by :

  • Fidela Anandita 
  • Saffanah Azka Nurfiana
  • Meidina Yumna Iswara
  • Aisyah Yumna Shakira A. B
  • Shofi Aulia K  




 

 

 

 





 

Senin, 15 Februari 2021

HARI GIZI NASIONAL 2021

HARI GIZI NASIONAL 2021




Di Indonesia, pada 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Peringatan ini berawal sejak awal kemerdekaan untuk memperbaiki gizi di awal kemerdekaan. Pada saat itu, banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi gizi kurang baik. Hari Gizi Nasional masih dirayakan dengan tema penuh makna yang mengajak masyarakat sadar akan pentingnya asupan makanan bergizi untuk tubuh. Selengkapnya, simak 4 fakta Hari Gizi Nasional yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Mulai dari sejarah hingga tema peringatan Hari Gizi Nasional 2021.

1.     Berawal dari kurangnya kesadaran tentang gizi

Kesejahteraan masyarakat yang kurang merata dan minimnya pengetahuan seputar gizi menjadi faktor kondisi gizi masyarakat yang memprihatinkan pada awal kemerdekaan. Melihat kondisi kesehatan masyarakat seperti itu, Johannes Leimana yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia menugaskan Prof. Poorwo Soedarmo untuk membantunya dalam menanggulangi permasalahan gizi buruk. Dari beberapa program yang sudah disusun, program utamanya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia. Namun, banyak masyarakat yang saat itu masih belum bisa membaca dan menulis. Hal itu lantas tak menurunkan semangat Prof. Poorwo Soedarmo.  Prof. Poorwo Soedarmo mengumpulkan kader-kader yang bertugas untuk memberi pengetahuan akan pentingnya gizi secara langsung kepada masyarakat. Sebelum diterjunkan ke masyarakat, para kader sebelumnya dibekali dengan ilmu gizi dengan didirikannya Sekolah Djuru Penerangan Makanan. Lihat Foto Ilustrasi sayur dan buah yang mengandung gizi tinggi.

2.     Berdirinya Sekolah Djuru Penerangan Makanan

Di Sekolah Djuru Penerangan Makanan atau disingkat dengan SDPM, para kader diberikan pendidikan mengenai gizi. Bukan hanya itu saja, para kader juga diajak melakukan penelitian mengenai penyakit yang bisa diakibatkan karena pola makan dan makanan pada masyarakat Indonesia. Berdirinya SDPM pada tanggal 25 Januari 1951 yang mana di tanggal yang sama selalu diperingati sebagai Hari Gizi Nasional.

3.     Bapak Gizi Nasional Indonesia

Semangat dan keteguhan Prof. Poorwo Soedarmo dalam memperkenalkan dan mengembangkan pengetahuan gizi di Indonesia membuat namanya harum dikenal sebagai Bapak Gizi Nasional. Pengakuan sebagai Bapak Gizi Nasional didapatkan Prof. Poorwo Soedarmo dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia pada tahun 1969. Prof. Poorwo Soedarmo semakin bersemangat dalam mengembangkan ilmu gizi dengan membuka bagian Ilmu Gizi pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1975. 

4.     Peringatan Hari Gizi Nasional 2021

Mengintip panduan kegiatan Hari Gizi Nasional dari laman Kemenkes, tema tahun ini adalah Remaja Sehat Bebas Anemia “Gizi Seimbang, Remaja Sehat, Indonesia Kuat”. Berdasarkan Riskesdas 2018 yang mana menunjukkan 3-4 dari 10 remaja Indonesia menderita anemia. Hal itu dipengarungi oleh asupan gizi yang tidak optimal dan kurangnya aktivitas fisik. Dengan memanfaatkan momentum Hari Gizi Nasional pada 2021, diharapkan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat agar bisa bergandeng tangan untuk meningkatkan perbaikan gizi pada remaja Indonesia. Dalam panduannya, ada 8 kegiatan yang berlangsung selama bulan Januari 2021. Salah satu di antaranya menyelenggarakan webinar tentang "Makan Bergizi Seimbang, Remaja Sehat" yang berlangsung secara daring melalui Zoom dan YouTube pada 28 Januari 2021.

sumber : https://www.kompas.com/food/read/2021/01/25/090400675/hari-gizi-nasional-2021-simak-4-fakta-mulai-sejarah-hingga-peringatan-tahun?page=all 


CERPEN

PERI MAKANAN

Di negeri Wales Selatan, di kota Aberdare, hiduplah seorang gadis kecil bernama Georgia. Georgia sangat suka makan. Semua makanan dilahapnya. Hingga, tubuhnya sangat gemuk. Bahkan Georgia sering memenangkan lomba makan.

Anak-anak memanggil Georgia sebagai “Si gemuk dari Selatan”. Tapi Georgia tidak pernah menanggapi ledekan teman-temannya itu. Hingga suatu hari, ketika teman sekolahnya yang bernama “Will” lupa membawa bekal dari rumah, Georgia memberinya roti gandum dengan parutan keju dan mentega di dalamnya.

Tetapi Will malah marah dan berkata, “Aku tidak mau makan, makanan darimu! Nanti aku akan berubah menjadi balon raksasa sepertimu!” ucapnya sambil membuang roti gandum itu ke tanah, hingga rotinya menjadi kotor.

Georgia sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu, padahal dia berniat baik. Tetapi yang membuatnya semakin sedih karena dia mendengar roti gandum itu menangis.

“Roti gandum, kenapa kau menangis seperti itu? Suaramu sangat menyayat hati,” tanya Georgia pada roti gandum.

“Aku sedih karena sekarang tubuhku kotor, tentu tidak ada yang mau memakanku lagi. Padahal, kebahagiaan setiap makanan bila dimakan sampai tidak bersisa,” jawab roti gandum dengan terisak-isak.

“Roti gandum, jangan bersedih, aku akan memakanmu sampai habis,” janji Georgia. Lalu dibersihkannya kotoran yang menempel pada roti gandum itu, kemudian melahapnya.

Georgia sering melihat teman-temannya menyisakan makanan, hingga Geogria selalu mendengar mereka menangis. Georgia lalu mengumpulkan makanan-makanan itu.  Sebagian dimakannya, sebagaian ia berikan pada burung-burung, kucing, atau binatang apapun disekitarnya yang terlihat kelaparan. Karena itu para binatang sangat sayang pada Georgia.

Suatu hari, pada pelajaran olahraga, Ibu Guru menyuruh anak-anak untuk melakukan lompat atletik dengan melewati galah. Satu-satunya yang gagal melewati galah hanyalah Georgia. Karena tubuhnya terlalu besar hingga membuatnya sulit untuk meloncat. Melihat itu, teman-temannya malah menertawakannya terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya Georgia menyesali keadaan dirinya.

       “Ah, andai aku memiliki tubuh yang kecil, tentu aku bisa terbang sebebas burung. Mengelilingi negeri awan, dan bercanda dengan mentari.” Ucapnya dalam hati.

Tapi Georgia tidak bisa berhenti makan, tubuhnya masih saja terus bertambah besar. Melihat itu, teman-temannya suka menjahili Georgia dengan menyimpan cermin besar di meja belajarnya di sekolah. Setiap kali Georgia melihat cermin itu, Ben, Will, dan Ricard akan meledeknya. Kemudian Georgia akan menjerit dan menyesal setiap kali makan. Akhirnya, Guru mereka, Irene, melerai Ben, Will, dan Ricard.

“Ben, Will, dan Ricard, kalian kemarilah,” ucap Guru Irene.

Ketika Ben, Will, dan Ricard datang, diletakannya cermin besar di depan mereka. Cermin itu adalah cermin yang biasa mereka simpan di meja Georgia.

“Ben, Will, dan Ricard, apa yang kalian lihat di dalam cermin ketika Georgia bercermin disana?” tanyanya lembut.

“Anak yang gemuk,” jawab Ben malu-malu

“Georgia yang rakus,” jawab Will lantang

“Rak … sasa,” jawab Ricard ragu-ragu

“Hmmm … baiklah … sekarang, apa yang kalian lihat ketika bercermin?” tanya Guru Irene lagi.

“Aku melihat diriku sendiri, Ben, dan juga Ricard,” jawab Will cepat.

“Aku juga sama Bu,” jawab Ben

“Tentu saja hanya ada kami Bu,” jawab Ricard dengan suara pelan.

Ketiga anak itu nampak kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan Guru Irene. Apa maksud ibu guru mereka itu?

“Kenapa aku hanya melihat tiga anak jahil yang suka menjahati temannya sendiri. Mereka tampak seperti nenek sihir yang jahat,” ucap Guru Irene yang membuat Ben, Will, dan Ricard menjadi tersipu-sipu malu.

“Jika kalian hanya melihat tampilan luar seseorang saja, maka orang lain pun akan melihat hal yang sama pada diri kalian. Jika kalian hanya melihat kekurangan seseorang, maka orang lain pun akan selalu mencari kekurangan kalian,” jelas Guru Irene.

Ben, Will, dan Ricard mengerti maksud guru mereka. Mereka lalu mendatangi Georgia dan meminta maaf padanya. Setelah itu, mereka tidak pernah meledek Georgia lagi, juga tidak menyimpan cermin di mejanya. Tetapi Georgia sudah terlanjur benci bercermin. Dia membuang semua cermin yang dimilikinya, hingga dia tidak usah bercermin lagi.

Georgia menjadi anak yang pemurung, dia selalu tampak bersedih. Hingga suatu malam yang cerah, Georgia terbangun dari tidurnya. Dia mendengar banyak suara yang memanggilnya.

“Georgia, bangunlah ….” Begitulah suara-suara itu memanggilnya

Ketika dia membuka mata, terlihat olehnya banyak makanan tersenyum padanya, mereka bersayap dan bisa terbang. Georgia bahagia sekali melihat mereka.

“Wow … aku bertemu para peri makanan,” pikirnya.

“Akhirnya kau bangun juga Georgia, kami sudah lama menunggumu,” ucap wortel bersayap dengan suaranya yang indah seperti lonceng.

“Kami sudah tidak sabar mengajakmu pergi,” ucap Roti bersayap sambil menggenggam tangan Georgia lembut.

“Kalian akan membawaku pergi ke mana?” tanya Georgia

“Ke negeri awan,” jawab sosis terbang sambil tersenyum

“Tapi aku tidak bisa terbang,” kata Georgia sedih

Tiba-tiba dari langit masuklah remah-remah makanan yang terbang masuk ke kamar Georgia lewat jendela. Mereka semua bercahaya dan nampak cantik. Mereka lalu mengelilingi Georgia.

“Georgia … Georgia … ingatkah kamu pada kami? Kami adalah remah-remah makanan sisa yang selalu kamu kumpulkan. Kami yang dibuang ini menjadi berharga untukmu. Karena kebaikanmu, kami akan menghadiahkan sayap untukmu, agar kamu bisa terbang,” ucap remah-remah makanan itu, mereka lalu berubah menjadi sayap di punggung Georgia.

Georgia sangat bahagia, tubuhnya terasa sangat ringan dan kini dia bisa terbang. Georgia terbang berputar-putar sambil tertawa.

“Terimakasih, peri-peri makanan,” katanya

“Georgia, sekarang kita berangkat ke negeri awan. Bukankah kamu sangat ingin pergi kesana?” tanya buah pisang terbang.

Mereka kemudian terbang ke negeri awan. Terbang jauh ke langit. Iring-iringan nya terlihat seperti sekumpulan bintang yang bersinar terang. Di negeri awan, mereka bermain bersama bintang dan bulan. Dan kemudian, saat matahari datang sambil bernyanyi riang, sekumpulan makanan terbang itu mengantar Georgia kembali ke rumah.

Sebelum pergi sekumpulan peri-peri makanan itu berkata, “Georgia, berjanjilah untuk tidak bersedih lagi. Ketika kami bersedih, kamu selalu berusaha membuat kami bahagia, karena itu, saat kamu bersedih, kami ingin membuatmu bahagia. Ingatlah Georgia, kami selalu menyayangimu.”

Hari itu, Georgia sangat bahagia, karena dia tahu, saat dia tersenyum, teman-teman makanannya tentu ikut merasa senang.

Suatu hari, Georgia sakit dan tidak masuk sekolah. Ibunya membawa Georgia ke dokter. Menurut dokter, Georgia terkena penyakit kegemukan. Karena itu dia harus mengurangi porsi makannya. Georgia sedih sekali, dia harus berpisah dengan kue-kue yang lezat itu, juga dengan burger dan hotdog kesukaannya.

Sepulang dari dokter, ibunya sangat membatasi makanannya. Tapi terkadang, saat ibunya tidak bisa mengawasinya, Georgia akan diam-diam makan banyak. Hingga berat badannya tidak juga menurun, hal itu membuat tubuh Georgia kian hari kian melemah.

Malam itu, sahabat-sahabat makanannya datang kembali. Tapi ada yang aneh dengan mereka. Mereka semua menangis. Georgia sangat heran, dia lalu bertanya.

“Kenapa kalian semua menangis? Adakah sesuatu yang buruk terjadi di negeri awan?”

“Georgia, kami sangat sedih … sangat sedih …,” ucap para peri makanan

“Kenapa?” tanya Georgia lagi

“Georgia, kami sangat ingin membuatmu bahagia. Tapi, karena kami, sekarang kamu malah sakit,” jelas peri makanan pisang.

“Iya, karena kami, badanmu semakin lemah,” kata peri makanan roti.

“Kenapa karena kalian aku sakit?” tanya Georgia tidak mengerti.

“Georgia, karena kamu makan terlalu banyak, kamu jatuh sakit,” jawab peri makanan wortel.

“Benar … benar,” sahut peri makanan lain.

“Georgia, makan itu baik, tetapi kita harus makan sesuai dengan kebutuhan gizi kita. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,” kata peri makanan sosis.

“Berarti aku harus kurus ya?” tanya Georgia lagi.

“Georgia, kita tidak harus kurus, juga tidak harus gemuk. Tapi kita harus sehat. Sehat itu tidak kurus juga tidak gemuk,” jawab peri makanan pisang.

“Malam ini, kami tidak bisa menjadi sayapmu, karena badanmu terlalu lemah untuk terbang,” ucap para peri remah makanan dengan wajah sendu. “Georgia, memang kebahagiaan kami adalah ketika makanan tidak disisakan, tapi kami lebih bahagia ketika kami bisa membuat tubuhmu sehat dan kuat. Itulah arti kami sebenarnya di dalam tubuhmu,” tambah para peri remah makanan.

“Georgia, maaf, kami tidak bisa menemuimu lagi …kami terlalu sedih. Maaf Georgia … maaf Georgia …,” ucap para peri makanan sambil terbang menjauh. Cahaya mereka terlihat semakin meredup.

Georgia sedih sekali, dia tidak ingin berpisah dengan teman-teman peri makanannya. Paginya, Georgia sarapan secukupnya, dia tidak mengambil makanan berlebihan. Begitupun ketika di sekolah. Bahkan ketika Ben mengambil banyak makanan dan menyisakannya, Georgia lalu memarahi Ben. Georgia, mengambil buku kesayangan Ben lalu membuangnya ke tempat sampah. Ben kaget, lalu menangis.

“Ben, pernahkah kamu mendengar makanan menangis? Makanan akan sedih ketika mereka di buang. Seperti Ben yang merasa sedih karena  buku kesayanganmu aku buang.”

Setelah itu Ben, tidak pernah menyisakan makanan lagi, malah dia selalu mengingatkan teman-teman yang lain agar selalu menghabiskan makanannya.

Lalu bagaimana dengan Georgia? Georgia sekarang sudah tidak membenci cermin, karena cermin tidak bersalah, dia hanya memperlihatkan dengan jujur apa yang dilihatnya. Georgia tidak sedih dengan keadaan tubuhnya yang besar, karena memiliki tubuh besar bukan berarti jelek, asalkan selalu sehat karena makanan yang dia makan sesuai dengan kebutuhan gizi tubuhnya. Georgia bahagia sekarang, karena dapat kembali bertemu dengan teman-teman perinya. Dan Georgia masih selalu mengumpulkan makanan sisa untuk dibagikan pada para binatang yang kelaparan. Hingga semua orang memanggil Georgia Si Peri Makanan yang baik hati.

TAMAT



PUISI

HARI GIZI NASIONAL

Ladang padi yang sangat subur ….

Buah dan sayuran yang sangat segar melimpah

Itulah hasil negaraku

Tak perlu khawatirkan

Anak anak bangsa ….

Hingga kekurangan gizi

Tak kan pernah terjadi

Senyum kita semua

Melambung tinggi

Menari di udara

Bahwa bumiku tetap Berjaya

Jangan melupakan Kesehatan

Makan makanlah yang bergizi

Agar tubuh menjadi berenergi 



PANTUN

JADI ORANG HARUS GIAT

 

AGAR TAK JAUH DARI REJEKI

 

MAKANLAH MAKANAN SUMBER KARBOHIDRAT

 

SETENGAH DARI KEBUTUHAN ENERGI



KALIGRAFI




CERGAM



KARIKATUR



KELOMPOK NALLAZION

        Asqi Syahrul Anwar

        Jihan Arwana

        Noval Abdillah

        Muhammad Akbar Al Hafiiz Syaputra

        Raihan Tegar Ramadhan

        Muhammad Syarif Lutfi

        Farhan Fedynuril Huda

        Rafa Aulia Zidni Asfindra

 


 



Contact

Talk to us

Hubungi kami untuk kritik dan saran

Address:

Jl. Sumpah Pemuda No.62, Kadipiro, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57136

Work Time:

Every Day

Diberdayakan oleh Blogger.

BBM 2024

 BBM 2024         BBM   (Boarding School   Bersama Masyarakat )   adalah  program   kerja   tahunan   OPBS MAN    1 Surakarta yang merupakan...

Cari Blog Ini