Ada apa dengan Alam Indonesia?
Beberapa pertanyaan mungkin saat ini banyak bertebaran dalam akal budi kita, tentang kondisi bangsa dan keutuhan hidup manusia dalam suatu negara. Siapa sangka, bencana berduyun duyun tiba dan mewarnai cerita di awal tahun Indonesia.
Jika kita bertanya, tentang siapakah yang bertanggung jawab
dengan kejadian ini? Tentu saja tanggung jawab kita bersama, namun tak salah
pula bila tanggung jawab terbesar itu ada pada wakil-wakil yang kita pilih
selama periodesasi tertentu, baik itu lembaga Eksekutif, lembaga legislatif,
ataupun lembaga pembantu yang kita kenal dengan lembaga ad hoc seperti BMKG
"Sekarang bagaimana?"
tanya seseorang yang tengah mencengkeram kepalanya. Menjambak rambut cokelat
keemasan itu pelan. Kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi apa yang kudu ia
lakukan. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Merebahkannya begitu saja.
Menatap gemintang gemerlap di langit hitam.
"Sebisa mungkin kita segera
menemukan penawar, jika tidak ...," seseorang yang lain menggantungkan
kalimatnya. Seakan tidak tega melanjutkan. Ia menyibakkan rambut hitam legam
panjangnya. Melangkah. Mengikuti jejak lelaki yang kini tengah merebahkan
tubuhnya di atas sofa.
"Wabah ini kian hari kian
meresahkan warga. Setiap harinya pasti tak pernah absen seseorang yang
kehilangan nyawa akibat wabah ini. Kabarnya, sudah puluhan tenaga medis yang
telah meregang nyawa. Mereka kewalahan mengurus pasien yang kian membludak.
Ditambah penawar yang tak kunjung ditemukan," imbuh lelaki itu. Perlahan
ia kembali menegakkan tubuhnya. Menatap gadis yang tengah duduk di sebelah.
"Kau benar Alan, kita harus
segera bertindak. Jika tidak, semua akan terlambat." Gadis itu menghela
napas berat. Lelah memikirkan solusi beberapa hari terakhir ini. Meremas jemari
tangannya tanda tengah berpikir keras.
Sedangkan Alan di sebelahnya nampak
mengalihakan fokus pada tumpukan buku yang berserak di atas meja. Jemarinya
bergerak luwes menata buku-buku yang berantakan. Membuatnya melayang di udara.
Ia nampak asyik hingga terkesan mengabaikan ucapan gadis di sisinya. Ia hanya
penat. Mungkin dengan bermain-main sebentar rasa lelahnya akan hilang.
Geram sebab tak mendapat respon dari
lawan bicara, gadis itu angkat suara, "ALAN! Ini bukan waktunya untuk
bermain-main!" sentak gadis itu sedikit kasar.
Alan terlonjak. Buku-buku yang
melayang kini berjatuhan. Membuatnya kembali berantakan. Ia menoleh ke arah
gadis yang tengah mengamuk di sisinya. "Hey Iselin! Kau merusak tatanan
bukuku," protes Alan tanpa rasa bersalah. Kembali menggerakkan jemarinya,
tak peduli jika Iselin kembali mengamuk. Membuat buku-buku itu kembali
melayang.
"Kau ... bisa-bisanya masih
memikirkan buku-buku itu. Posisi dunia tengah berada pada titik terendah dan
kau justru asyik memainkan buku-buku itu. Sungguh, aku tak habis pikir. Dasar
lelaki aneh," gerutu Iselin usai mendengar jawaban Alan. Ia menjadi tidak
yakin bahwa lelaki gila itu adalah kakaknya.
"Lalu, apa yang harus aku
lakukan? Dalam posisi saat ini, kekuatanku sama sekali tak ada gunanya. Biarkan
aku bermain-main sebentar agar jemariku tidak kaku. Sudah lama sekali tidak aku
gunakan semenjak pemerintah menerapkan kebijakan tidak boleh keluar rumah. Aku
hanya khawatir jika kekuatanku mendadak hilang gegara cemburu sebab lama tak
kugunakan. Aku hanya memastikan apakah kekuatanku kabur meninggalkanku atau
tidak," terang Alan dengan wajah polosnya yang menjengkelkan. Ia kembali
menggerakkan jemarinya menata semula buku-buku yang berjatuhan.
Iselin menghela napas kasar.
Pertengkaran dengan kakaknya itu hanya akan membuang tenaga. Ia akan berlagak
polos dan seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Iselin memutar bola
mata malas. Beranjak menuju kamar. Meninggalkan Alan sendirian dengan wajah
kebingungannya. Jujur, Alan memang tak mengerti mengapa Iselin tiba-tiba marah
padanya.
"Hey, kau mau ke mana?"
Alan reflek menghentikan aktivitas. Ikut berdiri menyusul Iselin.
"Tidur!" ucap Iselin
disertai dengan suara pintu yang dibanting keras.
Alan mematung di tempat, lantas
mengangkat bahunya tak mengerti. Mungkin Iselin hanya lelah. Lagipula ini sudah
larut malam. Waktunya untuk mengistirahatkan pemikiran. Alan melangkahkan kaki
pergi dari depan kamar Iselin. Meskipun hingga pagi nanti Alan terus berdiri,
tetap saja Iselin tak akan membukakan pintu. Sia-sia saja tenaga yang Alan
keluarkan.
Langkah Alan membawanya menuju
dapur. Tenggorokannya terasa kering, maka ia menuang segelas air putih. Lantas
bersiap meneguknya sebelum suara teriakan terdengar. Teriakan itu berasal dari
kamar Iselin. Maka, tanpa diulang yang kedua kali, Alan melesat menuju kamar
adiknya. Meletakkan gelas di sembarang tempat. Tak peduli meski gelas itu jatuh
lantas pecah berkeping-keping.
Alan mendobrak pintu kamar Iselin
sekuat mungkin. Pintu itu terkunci. Dasar Iselin, setiap bertengkar selalu saja
seperti ini. Menyusahkan orang saja.
"Iselin! Kau mendengarku?"
teriak Alan tanpa menghentikan aksinya mendobrak pintu.
Tak ada jawaban dan tak ada lagi
teriakan. Bulu kuduk Alan meremang. Pemikirannya kalut. Hal-hal buruk hilir
mudik melintas di dalam kepalanya. Apa yang terjadi pada Iselin di dalam sana?
Oh, Tuhan ... semoga tidak ada hal-hal buruk yang terjadi. Alan berulangkali
mencoba. Seluruh kekuatannya ia kerahkan. Namun, sama sekali tak berhasil
membobol pintu kayu tersebut. Seakan ada kekutan lain yang menahannya.
Pemikiran tersebut membuat Alan
semakin khawatir. Mengingat, Iselin tidak memiliki kekuatan seperti yang Alan
miliki. Pemikiran buruk itu mendorong Alan untuk lebih kuat membobol pintu
kamar. Alan tersengal usai pintu itu berhasil terbuka.
Ia terbelalak marah. Jemarinya
mengepal kuat. "Siapa kau?!" tanya Alan dengan nada dinginnya.
Giginya bergemeletuk menahan diri untuk tidak menyerang.
Di hadapannya, berdiri seorang
lelaki berpakaian serba hitam dengan tudung senada. Lelaki itu membopong tubuh
Iselin yang tak sadarkan diri. Ia tersenyum licik, tidak mengindahkan
pertanyaan Alan. Berbalik pergi masuk ke dalam lubang hitam yang berputar.
Maka segera Alan menyambar ponselnya.
Ia teringat akan sesuatu. Mengetikkan pesan singkat. Lantas menyusul masuk ke
dalam lingkaran hitam.
"Salah satu dari mereka telah
datang. Semua sesuai dengan rencana. Aku akan menyusulnya untuk menyelamatkan
Iselin. Dan, membawa pulang obat penawar tersebut. Tunggu aku di
laboratorium."
***
"Huh ... huh ... huh."
Iselin terengah berusaha mengatur napas. Ia menatap sekeliling. Tempat apa ini?
Apakah makhluk yang diceritakan Alan yang membawanya kemari? Entah mengapa,
ketakutan menjalar memenuhi rongga dada Iselin. Ia berniat untuk bangkit dari
posisi meringkuknya. Memposiskan diri menjadi duduk. Namun, sesuatu menghalangi
pergerakannya. Tangan dan kakinya sempurna terikat. Kencang sekali. Ia berusaha
melepaskan ikatan. Namun, semakin ia berusaha, tali itu kian kuat mengikat.
Justru menimbulkan luka pada pergelangan tangannya.
Ia menunduk, melupakan ikatan pada
tangan. Mati-matian menahan air mata supaya tidak tumpah. Ia tidak yakin apakah
rencana Alan kali ini akan berhasil. "Kakak ... aku ... aku takut."
Iselin terisak, tak sanggup menahan luapan air mata.
"Lebih baik diapakan gadis ini,
Tuan?" samar terdengar suara seseorang bertanya.
Iselin segera menghentikan
tangisnya. Berusaha menguping pembicaraan.
"Tunggu hingga Alan tiba.
Setelah itu terserah mau kau apakan dia. Mau kau jadikan makanan singa pun aku
tak masalah," ucap lelaki yang dipanggil tuan.
"Alan adalah ujung tombaknya.
Jika ia berhasil merebut penawar ini, maka gagal sudah rencana kita untuk
menguasai dunia. Virus Corona yang kita sebar akan musnah. Maka, satu-satunya
jalan adalah, melenyapkan Alan dari dunia. Dengan begitu, penawar ini tak akan
jatuh ke tangan siapapun. Dan gadis itu juga harus mati, jika tidak, ia yang
akan membawa pergi obat penawar ini."
Iselin tersentak kaget. Dadanya
bergemuruh. Sesak rasanya. Apa ... apa yang orang itu katakan? Tidak. Ini tidak
boleh terjadi. Iselin menggeleng kuat-kuat. Mengusir resah di dalam hatinya. Ia
yakin, Alan akan berhasil membawa pulang penawar tersebut. Serta ... membawanya
pergi dari tempat ini.
"Alan ... datanglah, aku mohon.
Demi dunia," bisik Iselin lebih kepada diri sendiri.
"Oh, iya, bagaimana kabar palsu
yang kau sebar?" tanya seseorang yang dipanggil tuan.
"Masyarakat dunia percaya,
Tuan. Mereka percaya bahwa kebocoran yang terjadi tidaklah disengaja. Berita
palsu ini semakin diyakini ketika mengetahui warga kita juga terjangkit virus
Corona. Padahal yang sebenarnya, semua ini telah direncanakan."
"Bagus, kita tunggu hingga
dunia tak lagi sanggup menahan gejolak virus ciptaan kita." Lelaki itu
tersenyum miring penuh kemenangan.
"Tidak sebelum kau berhasil
mengalahkanku." Suara dingin nan berat memecah kesenangan seseorang itu.
Iselin mendongak. Telinganya
mendengar suara yang tak asing. Benar saja, kini Alan telah berdiri menantang
dua lelaki lain di hadapannya. Ia mengepakkan sayap putih bersihnya perlahan
hingga menyentuh tanah. Lantas sayap itu menghilang di balik tubuh. Iselin
tersenyum melihat kedatangan malaikatnya.
"Kakak!" pekik Iselin
pelan.
Alan menoleh, berjalan mendekat ke
arah Iselin. Berjongkok di hadapan gadis yang amat ia sayangi. Mengembangkan
sayap putihnya. Lantas membiarkan sayap itu menenggelamkan tubuh Iselin. Iselin
nampak menikmati pelukan aneh yang jarang Alan lakukan padanya. Memeluk dengan
sayap.
"Kakak di sini, tak usah takut.
Hem?" bisik Alan tepat di telinga Iselin. Jemarinya melepaskan tali yang
mengikat tangan dan kaki Iselin.
Iselin mengangguk, bulir air menetes
membasahi pipinya. Alan dengan lembut mengusapnya, lantas tersenyum. Menyudahi
kegiatannya memeluk Iselin. Sayapnya kembali mengatup lantas menghilang.
"Tunggu di sini, aku selesaikan
dulu urusanku dengan lelaki itu." Nada suara Alan kembali sedingin es.
Lelaki itu tertawa meremehkan.
"Kau justru mengantarkan nyawamu, Alan." Lelaki itu tertawa
terbahak-bahak menyaksikan wajah memerah Alan.
Tak terima, Alan mendaratkan
tinjuannya pada wajah Tuan Pengecut tersebut. Membuatnya jatuh tersungkur di
atas tanah. "Kau salah, Julian. Berikan penawar itu atau nyawamu sebagai
gantinya." Mata Alan berkilat merah.
Ia berdiri di atas tubuh Julian.
Kaki Alan ia pergunakan untuk menghimpit tubuh Julian agar tak bisa bangkit.
Bersiap menghantam wajah itu dengan kepalan tangannya. Namun, dari belakang,
punggungnya melepuh tertembus peluru. Ia mengerang kesakitan. Segera mengembangkan
sayap berniat menghampiri sang penembak. Akan tetapi, Alan kalah cepat dengan
pergerakan tangan Julian.
Julian dengan gesit menahan kaki
Alan. Memaksa Alan untuk diam di tempat. Sayapnya mengepak-ngepak. Berusaha
meloloskan diri. Sedangkan di depan sana, orang tersebut mengacungkan
tembaknya. Siap membidik jantung. Alan terbelalak, dalam kondisi seperti ini ia
tak bisa melakukan apapun. Berulang kali Alan berusaha menghindari puluhan
peluru. Darah menetes lumuri tubuhnya. Hingga satu tembakan melukai sayapnya.
Membuat Alan tersungkur di atas tanah. Kehilangan keseimbangan.
Iselin menutup mulut tercekat. Air
mata meluber basahi pipinya. Tidak. Alan harus bertahan. "Kakak ...."
Iselin kembali terisak.
Alan menoleh menatap mata Iselin.
"Aku senang mendengarmu memanggilku dengan panggilan itu." Tersenyum.
Iselin terisak kian kuat, menggeleng
kencang. "Tidak ... Kakak harus bertahan, demi dunia, demi Iselin."
Iselin membekap mulutnya sendiri.
Alan tersenyum. "Tak apa,
Iselin. Kakak baik-baik saja," ucap Alan gemetar dengan salah satu tangan
menggenggam erat botol penawar. Berusaha menyembunyikannya. Tadi ia sempat
merebut botol itu dari saku Julian.
Julian tertawa terbahak-bahak. Ia
berjongkok di hadapan Alan dengan pistol sempurna menempel pada pelipis Alan.
"Ulululu, ucapkan salam perpisahan pada adikmu tercinta, Alan."
Julian tersenyum licik.
Alan menatap tajam manik mata lelaki
di hadapannya. "Kau. Akan. Menyesal," ucap Alan penuh penekanan.
Sedangkan Iselin di kejauhan sana,
meski gemetar, perlahan mendekati tubuh Alan. Dalam benaknya terus merapal doa.
Berniat menyelamatkan tubuh kakaknya. Namun, sebelum sempat tiba, suara
tembakan terdengar keras. Iselin mematung menyaksikan darah segar mengalir
basahi wajah Alan. Julian bangkit, tertawa puas. Ia menjatuhkan begitu saja
pistol yang semula digenggamnya.
Sakit. Sesak. Itu yang Iselin
rasakan. Matanya memanas. Air mata tanpa bisa dicegah mengalir deras. Segera
menuju kakaknya. Jemarinya dengan gemetar meraih pistol di sisi kepala Alan.
Dengan derai air mata Iselin menembakkan peluru itu ke arah setiap orang yang
berada di ruangan. Membuatnya bergelimpangan. Darah tercecer di mana-mana.
Iselin menangis, memangku kepala
Alan. Mengusap pipinya lembut. "Kakak ... Iselin mohon ...." Pecah
sudah. Iselin memeluk erat tubuh kaku Alan. Membelai sayap yang beberapa saat
lalu menenggelamkan tubuhnya. Kini sayap itu berlumur warna merah.
Iselin beralih pada jemari Alan yang
menggenggam botol penawar. Ia meraihnya, memasukkan botol itu ke dalam saku.
"Cabutlah sehelai bulu di
sayapku, lalu kenakanlah pada sela telingamu. Pejamkan matamu dan tiba-tiba kau
sudah berada di tempat yang kau inginkan. Lakukan ini bila tak memungkinkan
bagiku untuk pulang bersamamu. Kau harus menyelamatkan dunia, Iselin
adikku."
Iselin teringat kata-kata Alan
beberapa hari lalu. Maka, dengan sisa-sisa tangisan, ia mencabut sehelai bulu
pada sayap Alan. Mengenakannya di sela telinga. Kemudian memeluk tubuh kakaknya
erat, memejamkan mata. Mengucapkan dalam hati tempat tujuan.
"Iselin sayang Kakak."
Tanpa direncana, air mata mengalir menetes pada luka tembakan di pelipis Alan.
Ia memdekap kepala kakaknya penuh kasih sayang. Membawa serta ia kembali ke
rumah.
"Kakak juga sayang Iselin. Asal
kau tak mengamuk lagi padaku karena masalah sepele." Suara berat itu
mengagetkan Iselin yang tengah memeluk erat tubuh Alan. Iselin mendongak,
menyaksikan iris biru tua menatapnya lembut. Dengan darah yang melumuri
keseluruhan wajah itu.
"Ka-kak?" tanya Iselin
terbata.
Alan mengangguk, tersenyum lembut ke
arah Iselin.
"Bagaimana mungkin? Iselin kira
Kakak sudah—"
"Sstt." Alan meletakkan
jari telunjuk di bibir Iselin.
"Air matamu yang mengalir di
luka tembak di pelipis itulah yang kembali membangkitkanku," ucap Alan
enteng.
Iselin merengut. Memukul pelan dada
Alan. Membuatnya meringis kesakitan. "Mengapa tidak mengatakan hal itu
sebelumnya?" ucap Iselin yang kemudian menangis pelan.
"Kau tidak bertanya,"
lagi-lagi Alan menjawabnya enteng. Membuat Iselin mengerucut sebal. "Oiya,
tujuan kita kemana?"
"Rumah."
"Bagaimana bila aku membawamu
terbang menuju laboratorium?" tawar Alan.
"Kau harus mandi dulu,
Kak," elak Iselin.
Alan tersenyum jahil. "Pegangan
yang erat, Iselin! Kita meluncur sekarang."
"ALAN!"
***
PUISI
Bangkitlah Bumi Pertiwi
Bumi Nusantara sedang berduka
Keretakan terjadi dimana saja
Air menggenang di sebagian wilayah Indonesia
Mimik wajah ketakutan ada dimana-mana
Banyak saudara kita yang tengah berduka
Kehilangan harta bendanya
Terpisah dari orangtuanya
Bahkan ada yang merengang nyawa
Diluar sana mereka sendiri dengan ketakutannya
Memeluk lutut seraya terus berdoa
Meringkuk menahan dinginnya udara
Dan tidur dengan hati gundah luar biasa
Mereka hanya bisa menanti
Menanti uluran tangan orang berhati peri
Mereka yang memberi dengan murah hati
Memberi tanpa mengharap kembali
Bersyukurlah kalian semua yang tidak mengalami
Teruslah berdoa untuk kembalinya bumi pertiwi
Segeralah sehat kembali
PANTUN
Jalan-jalan ke
Surabaya
Tidak lupa
membeli roti keju
Lekas sembuh
Indonesia
Kami semua merindukanmu
LUKISAN/POSTER
Made by :
- Fidela Anandita
- Saffanah Azka Nurfiana
- Meidina Yumna Iswara
- Aisyah Yumna Shakira A. B
- Shofi Aulia K
.
BalasHapus