Selasa, 16 Februari 2021

PRAY FOR INDONESIA




Ada apa dengan Alam Indonesia?

Beberapa pertanyaan mungkin saat ini banyak bertebaran dalam akal budi kita, tentang kondisi bangsa dan keutuhan hidup manusia dalam suatu negara. Siapa sangka, bencana berduyun duyun tiba dan mewarnai cerita di awal tahun Indonesia. 

Jika kita bertanya, tentang siapakah yang bertanggung jawab dengan kejadian ini? Tentu saja tanggung jawab kita bersama, namun tak salah pula bila tanggung jawab terbesar itu ada pada wakil-wakil yang kita pilih selama periodesasi tertentu, baik itu lembaga Eksekutif, lembaga legislatif, ataupun lembaga pembantu yang kita kenal dengan lembaga ad hoc seperti BMKG

Pada tahun sebelumnya, BMKG memberikan Warning mengenai prakiraan cuaca yang akan menimpa beberapa daerah di Indonesia (bacahttps://bnpb.go.id/ ). Perkiraan  cuaca yang di publish oleh BMKG, memang benar adanya. Hujan lebat terjadi di berbagai daerah, lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah banjir terjadi karena hujan? atau malah karena ulah buah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab?.

Jika hujan yang menyebabkan bencana, maka solusi yang baik adalah berkomunikasi dengan langit sebaik dan sebijak mungkin. Namun, seperti apakah caranya? Hmm mungkin keyakinan menjadi kuncinya. Tetapi, jika ulah tangan manusia yang menyebabkannya, maka tak ada solusi lain selain berhubungan baik dengan alam tanpa merusak ataupun memalingkan pandang pada kondisinya.

Siapakah kita?
Pemimpin dunia?
Bakteri dunia?
Pembuat kebijakan tamak?




CERPEN 

Dalam Perjalananku

 

"Sekarang bagaimana?" tanya seseorang yang tengah mencengkeram kepalanya. Menjambak rambut cokelat keemasan itu pelan. Kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi apa yang kudu ia lakukan. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Merebahkannya begitu saja. Menatap gemintang gemerlap di langit hitam.

 

"Sebisa mungkin kita segera menemukan penawar, jika tidak ...," seseorang yang lain menggantungkan kalimatnya. Seakan tidak tega melanjutkan. Ia menyibakkan rambut hitam legam panjangnya. Melangkah. Mengikuti jejak lelaki yang kini tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa.

 

"Wabah ini kian hari kian meresahkan warga. Setiap harinya pasti tak pernah absen seseorang yang kehilangan nyawa akibat wabah ini. Kabarnya, sudah puluhan tenaga medis yang telah meregang nyawa. Mereka kewalahan mengurus pasien yang kian membludak. Ditambah penawar yang tak kunjung ditemukan," imbuh lelaki itu. Perlahan ia kembali menegakkan tubuhnya. Menatap gadis yang tengah duduk di sebelah.

 

"Kau benar Alan, kita harus segera bertindak. Jika tidak, semua akan terlambat." Gadis itu menghela napas berat. Lelah memikirkan solusi beberapa hari terakhir ini. Meremas jemari tangannya tanda tengah berpikir keras.

 

Sedangkan Alan di sebelahnya nampak mengalihakan fokus pada tumpukan buku yang berserak di atas meja. Jemarinya bergerak luwes menata buku-buku yang berantakan. Membuatnya melayang di udara. Ia nampak asyik hingga terkesan mengabaikan ucapan gadis di sisinya. Ia hanya penat. Mungkin dengan bermain-main sebentar rasa lelahnya akan hilang.

 

Geram sebab tak mendapat respon dari lawan bicara, gadis itu angkat suara, "ALAN! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!" sentak gadis itu sedikit kasar.

 

Alan terlonjak. Buku-buku yang melayang kini berjatuhan. Membuatnya kembali berantakan. Ia menoleh ke arah gadis yang tengah mengamuk di sisinya. "Hey Iselin! Kau merusak tatanan bukuku," protes Alan tanpa rasa bersalah. Kembali menggerakkan jemarinya, tak peduli jika Iselin kembali mengamuk. Membuat buku-buku itu kembali melayang.

 

"Kau ... bisa-bisanya masih memikirkan buku-buku itu. Posisi dunia tengah berada pada titik terendah dan kau justru asyik memainkan buku-buku itu. Sungguh, aku tak habis pikir. Dasar lelaki aneh," gerutu Iselin usai mendengar jawaban Alan. Ia menjadi tidak yakin bahwa lelaki gila itu adalah kakaknya.

 

"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Dalam posisi saat ini, kekuatanku sama sekali tak ada gunanya. Biarkan aku bermain-main sebentar agar jemariku tidak kaku. Sudah lama sekali tidak aku gunakan semenjak pemerintah menerapkan kebijakan tidak boleh keluar rumah. Aku hanya khawatir jika kekuatanku mendadak hilang gegara cemburu sebab lama tak kugunakan. Aku hanya memastikan apakah kekuatanku kabur meninggalkanku atau tidak," terang Alan dengan wajah polosnya yang menjengkelkan. Ia kembali menggerakkan jemarinya menata semula buku-buku yang berjatuhan.

 

Iselin menghela napas kasar. Pertengkaran dengan kakaknya itu hanya akan membuang tenaga. Ia akan berlagak polos dan seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Iselin memutar bola mata malas. Beranjak menuju kamar. Meninggalkan Alan sendirian dengan wajah kebingungannya. Jujur, Alan memang tak mengerti mengapa Iselin tiba-tiba marah padanya.

 

"Hey, kau mau ke mana?" Alan reflek menghentikan aktivitas. Ikut berdiri menyusul Iselin.

 

"Tidur!" ucap Iselin disertai dengan suara pintu yang dibanting keras.

 

Alan mematung di tempat, lantas mengangkat bahunya tak mengerti. Mungkin Iselin hanya lelah. Lagipula ini sudah larut malam. Waktunya untuk mengistirahatkan pemikiran. Alan melangkahkan kaki pergi dari depan kamar Iselin. Meskipun hingga pagi nanti Alan terus berdiri, tetap saja Iselin tak akan membukakan pintu. Sia-sia saja tenaga yang Alan keluarkan.

 

Langkah Alan membawanya menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering, maka ia menuang segelas air putih. Lantas bersiap meneguknya sebelum suara teriakan terdengar. Teriakan itu berasal dari kamar Iselin. Maka, tanpa diulang yang kedua kali, Alan melesat menuju kamar adiknya. Meletakkan gelas di sembarang tempat. Tak peduli meski gelas itu jatuh lantas pecah berkeping-keping.

 

Alan mendobrak pintu kamar Iselin sekuat mungkin. Pintu itu terkunci. Dasar Iselin, setiap bertengkar selalu saja seperti ini. Menyusahkan orang saja.

 

"Iselin! Kau mendengarku?" teriak Alan tanpa menghentikan aksinya mendobrak pintu.

 

Tak ada jawaban dan tak ada lagi teriakan. Bulu kuduk Alan meremang. Pemikirannya kalut. Hal-hal buruk hilir mudik melintas di dalam kepalanya. Apa yang terjadi pada Iselin di dalam sana? Oh, Tuhan ... semoga tidak ada hal-hal buruk yang terjadi. Alan berulangkali mencoba. Seluruh kekuatannya ia kerahkan. Namun, sama sekali tak berhasil membobol pintu kayu tersebut. Seakan ada kekutan lain yang menahannya.

 

Pemikiran tersebut membuat Alan semakin khawatir. Mengingat, Iselin tidak memiliki kekuatan seperti yang Alan miliki. Pemikiran buruk itu mendorong Alan untuk lebih kuat membobol pintu kamar. Alan tersengal usai pintu itu berhasil terbuka.

 

Ia terbelalak marah. Jemarinya mengepal kuat. "Siapa kau?!" tanya Alan dengan nada dinginnya. Giginya bergemeletuk menahan diri untuk tidak menyerang.

 

Di hadapannya, berdiri seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan tudung senada. Lelaki itu membopong tubuh Iselin yang tak sadarkan diri. Ia tersenyum licik, tidak mengindahkan pertanyaan Alan. Berbalik pergi masuk ke dalam lubang hitam yang berputar.

 

Maka segera Alan menyambar ponselnya. Ia teringat akan sesuatu. Mengetikkan pesan singkat. Lantas menyusul masuk ke dalam lingkaran hitam.

 

"Salah satu dari mereka telah datang. Semua sesuai dengan rencana. Aku akan menyusulnya untuk menyelamatkan Iselin. Dan, membawa pulang obat penawar tersebut. Tunggu aku di laboratorium."

 

***

 

"Huh ... huh ... huh." Iselin terengah berusaha mengatur napas. Ia menatap sekeliling. Tempat apa ini? Apakah makhluk yang diceritakan Alan yang membawanya kemari? Entah mengapa, ketakutan menjalar memenuhi rongga dada Iselin. Ia berniat untuk bangkit dari posisi meringkuknya. Memposiskan diri menjadi duduk. Namun, sesuatu menghalangi pergerakannya. Tangan dan kakinya sempurna terikat. Kencang sekali. Ia berusaha melepaskan ikatan. Namun, semakin ia berusaha, tali itu kian kuat mengikat. Justru menimbulkan luka pada pergelangan tangannya.

 

Ia menunduk, melupakan ikatan pada tangan. Mati-matian menahan air mata supaya tidak tumpah. Ia tidak yakin apakah rencana Alan kali ini akan berhasil. "Kakak ... aku ... aku takut." Iselin terisak, tak sanggup menahan luapan air mata.

 

"Lebih baik diapakan gadis ini, Tuan?" samar terdengar suara seseorang bertanya.

 

Iselin segera menghentikan tangisnya. Berusaha menguping pembicaraan.

 

"Tunggu hingga Alan tiba. Setelah itu terserah mau kau apakan dia. Mau kau jadikan makanan singa pun aku tak masalah," ucap lelaki yang dipanggil tuan.

 

"Alan adalah ujung tombaknya. Jika ia berhasil merebut penawar ini, maka gagal sudah rencana kita untuk menguasai dunia. Virus Corona yang kita sebar akan musnah. Maka, satu-satunya jalan adalah, melenyapkan Alan dari dunia. Dengan begitu, penawar ini tak akan jatuh ke tangan siapapun. Dan gadis itu juga harus mati, jika tidak, ia yang akan membawa pergi obat penawar ini."

 

Iselin tersentak kaget. Dadanya bergemuruh. Sesak rasanya. Apa ... apa yang orang itu katakan? Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Iselin menggeleng kuat-kuat. Mengusir resah di dalam hatinya. Ia yakin, Alan akan berhasil membawa pulang penawar tersebut. Serta ... membawanya pergi dari tempat ini.

 

"Alan ... datanglah, aku mohon. Demi dunia," bisik Iselin lebih kepada diri sendiri.

 

"Oh, iya, bagaimana kabar palsu yang kau sebar?" tanya seseorang yang dipanggil tuan.

 

"Masyarakat dunia percaya, Tuan. Mereka percaya bahwa kebocoran yang terjadi tidaklah disengaja. Berita palsu ini semakin diyakini ketika mengetahui warga kita juga terjangkit virus Corona. Padahal yang sebenarnya, semua ini telah direncanakan."

 

"Bagus, kita tunggu hingga dunia tak lagi sanggup menahan gejolak virus ciptaan kita." Lelaki itu tersenyum miring penuh kemenangan.

 

"Tidak sebelum kau berhasil mengalahkanku." Suara dingin nan berat memecah kesenangan seseorang itu.

 

Iselin mendongak. Telinganya mendengar suara yang tak asing. Benar saja, kini Alan telah berdiri menantang dua lelaki lain di hadapannya. Ia mengepakkan sayap putih bersihnya perlahan hingga menyentuh tanah. Lantas sayap itu menghilang di balik tubuh. Iselin tersenyum melihat kedatangan malaikatnya.

 

"Kakak!" pekik Iselin pelan.

 

Alan menoleh, berjalan mendekat ke arah Iselin. Berjongkok di hadapan gadis yang amat ia sayangi. Mengembangkan sayap putihnya. Lantas membiarkan sayap itu menenggelamkan tubuh Iselin. Iselin nampak menikmati pelukan aneh yang jarang Alan lakukan padanya. Memeluk dengan sayap.

 

"Kakak di sini, tak usah takut. Hem?" bisik Alan tepat di telinga Iselin. Jemarinya melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki Iselin.

Iselin mengangguk, bulir air menetes membasahi pipinya. Alan dengan lembut mengusapnya, lantas tersenyum. Menyudahi kegiatannya memeluk Iselin. Sayapnya kembali mengatup lantas menghilang.

 

"Tunggu di sini, aku selesaikan dulu urusanku dengan lelaki itu." Nada suara Alan kembali sedingin es.

 

Lelaki itu tertawa meremehkan. "Kau justru mengantarkan nyawamu, Alan." Lelaki itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan wajah memerah Alan.

 

Tak terima, Alan mendaratkan tinjuannya pada wajah Tuan Pengecut tersebut. Membuatnya jatuh tersungkur di atas tanah. "Kau salah, Julian. Berikan penawar itu atau nyawamu sebagai gantinya." Mata Alan berkilat merah.

 

Ia berdiri di atas tubuh Julian. Kaki Alan ia pergunakan untuk menghimpit tubuh Julian agar tak bisa bangkit. Bersiap menghantam wajah itu dengan kepalan tangannya. Namun, dari belakang, punggungnya melepuh tertembus peluru. Ia mengerang kesakitan. Segera mengembangkan sayap berniat menghampiri sang penembak. Akan tetapi, Alan kalah cepat dengan pergerakan tangan Julian.

 

Julian dengan gesit menahan kaki Alan. Memaksa Alan untuk diam di tempat. Sayapnya mengepak-ngepak. Berusaha meloloskan diri. Sedangkan di depan sana, orang tersebut mengacungkan tembaknya. Siap membidik jantung. Alan terbelalak, dalam kondisi seperti ini ia tak bisa melakukan apapun. Berulang kali Alan berusaha menghindari puluhan peluru. Darah menetes lumuri tubuhnya. Hingga satu tembakan melukai sayapnya. Membuat Alan tersungkur di atas tanah. Kehilangan keseimbangan.

 

Iselin menutup mulut tercekat. Air mata meluber basahi pipinya. Tidak. Alan harus bertahan. "Kakak ...." Iselin kembali terisak.

 

Alan menoleh menatap mata Iselin. "Aku senang mendengarmu memanggilku dengan panggilan itu." Tersenyum.

 

Iselin terisak kian kuat, menggeleng kencang. "Tidak ... Kakak harus bertahan, demi dunia, demi Iselin." Iselin membekap mulutnya sendiri.

 

Alan tersenyum. "Tak apa, Iselin. Kakak baik-baik saja," ucap Alan gemetar dengan salah satu tangan menggenggam erat botol penawar. Berusaha menyembunyikannya. Tadi ia sempat merebut botol itu dari saku Julian.

 

Julian tertawa terbahak-bahak. Ia berjongkok di hadapan Alan dengan pistol sempurna menempel pada pelipis Alan. "Ulululu, ucapkan salam perpisahan pada adikmu tercinta, Alan." Julian tersenyum licik.

 

Alan menatap tajam manik mata lelaki di hadapannya. "Kau. Akan. Menyesal," ucap Alan penuh penekanan.

 

Sedangkan Iselin di kejauhan sana, meski gemetar, perlahan mendekati tubuh Alan. Dalam benaknya terus merapal doa. Berniat menyelamatkan tubuh kakaknya. Namun, sebelum sempat tiba, suara tembakan terdengar keras. Iselin mematung menyaksikan darah segar mengalir basahi wajah Alan. Julian bangkit, tertawa puas. Ia menjatuhkan begitu saja pistol yang semula digenggamnya.

 

Sakit. Sesak. Itu yang Iselin rasakan. Matanya memanas. Air mata tanpa bisa dicegah mengalir deras. Segera menuju kakaknya. Jemarinya dengan gemetar meraih pistol di sisi kepala Alan. Dengan derai air mata Iselin menembakkan peluru itu ke arah setiap orang yang berada di ruangan. Membuatnya bergelimpangan. Darah tercecer di mana-mana.

 

Iselin menangis, memangku kepala Alan. Mengusap pipinya lembut. "Kakak ... Iselin mohon ...." Pecah sudah. Iselin memeluk erat tubuh kaku Alan. Membelai sayap yang beberapa saat lalu menenggelamkan tubuhnya. Kini sayap itu berlumur warna merah.

 

Iselin beralih pada jemari Alan yang menggenggam botol penawar. Ia meraihnya, memasukkan botol itu ke dalam saku.

 

"Cabutlah sehelai bulu di sayapku, lalu kenakanlah pada sela telingamu. Pejamkan matamu dan tiba-tiba kau sudah berada di tempat yang kau inginkan. Lakukan ini bila tak memungkinkan bagiku untuk pulang bersamamu. Kau harus menyelamatkan dunia, Iselin adikku."

 

Iselin teringat kata-kata Alan beberapa hari lalu. Maka, dengan sisa-sisa tangisan, ia mencabut sehelai bulu pada sayap Alan. Mengenakannya di sela telinga. Kemudian memeluk tubuh kakaknya erat, memejamkan mata. Mengucapkan dalam hati tempat tujuan.

 

"Iselin sayang Kakak." Tanpa direncana, air mata mengalir menetes pada luka tembakan di pelipis Alan. Ia memdekap kepala kakaknya penuh kasih sayang. Membawa serta ia kembali ke rumah.

 

"Kakak juga sayang Iselin. Asal kau tak mengamuk lagi padaku karena masalah sepele." Suara berat itu mengagetkan Iselin yang tengah memeluk erat tubuh Alan. Iselin mendongak, menyaksikan iris biru tua menatapnya lembut. Dengan darah yang melumuri keseluruhan wajah itu.

 

"Ka-kak?" tanya Iselin terbata.

 

Alan mengangguk, tersenyum lembut ke arah Iselin.

 

"Bagaimana mungkin? Iselin kira Kakak sudah—"

 

"Sstt." Alan meletakkan jari telunjuk di bibir Iselin.

 

"Air matamu yang mengalir di luka tembak di pelipis itulah yang kembali membangkitkanku," ucap Alan enteng.

 

Iselin merengut. Memukul pelan dada Alan. Membuatnya meringis kesakitan. "Mengapa tidak mengatakan hal itu sebelumnya?" ucap Iselin yang kemudian menangis pelan.

 

"Kau tidak bertanya," lagi-lagi Alan menjawabnya enteng. Membuat Iselin mengerucut sebal. "Oiya, tujuan kita kemana?"

 

"Rumah."

 

"Bagaimana bila aku membawamu terbang menuju laboratorium?" tawar Alan.

 

"Kau harus mandi dulu, Kak," elak Iselin.

 

Alan tersenyum jahil. "Pegangan yang erat, Iselin! Kita meluncur sekarang."

 

"ALAN!"

 

***


 PUISI

Bangkitlah Bumi Pertiwi


Bumi Nusantara sedang berduka

Keretakan terjadi dimana saja

Air menggenang di sebagian wilayah Indonesia

Mimik wajah ketakutan ada dimana-mana

 

Banyak saudara kita yang tengah berduka

Kehilangan harta bendanya

Terpisah dari orangtuanya

Bahkan ada yang merengang nyawa

 

Diluar sana mereka sendiri dengan ketakutannya

Memeluk lutut seraya terus berdoa

Meringkuk menahan dinginnya udara

Dan tidur dengan hati gundah luar biasa

 

Mereka hanya bisa menanti

Menanti uluran tangan orang berhati peri

Mereka yang memberi dengan murah hati

Memberi tanpa mengharap kembali

 

Bersyukurlah kalian semua yang tidak mengalami

Teruslah berdoa untuk kembalinya bumi pertiwi

Segeralah sehat kembali

 

PANTUN

Jalan-jalan ke Surabaya

Tidak lupa membeli roti keju

Lekas sembuh Indonesia

Kami semua merindukanmu


 LUKISAN/POSTER





Made by :

  • Fidela Anandita 
  • Saffanah Azka Nurfiana
  • Meidina Yumna Iswara
  • Aisyah Yumna Shakira A. B
  • Shofi Aulia K  




 

 

 

 





 

1 komentar:

Contact

Talk to us

Hubungi kami untuk kritik dan saran

Address:

Jl. Sumpah Pemuda No.62, Kadipiro, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57136

Work Time:

Every Day

Diberdayakan oleh Blogger.

MUHADOROH KUBRO 2023

MUHADOROH KUBRO 2023        Dalam era globalisasi dan perubahan sosial yang signifikan, pemahaman tentang ajaran Islam dan bahasa sering k...

Cari Blog Ini